Mohon tunggu...
Fiona Try
Fiona Try Mohon Tunggu... Jurnalis - S1 Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

When nothing is sure, everything is possible.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Monarki Absolut: Mengulik Sejarah Kebebasan Pers di Thailand

27 September 2021   10:53 Diperbarui: 27 September 2021   12:04 1169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surat kabar pertama  milik orang asing. Sumber: https://medium.com/@kittapatr/review-the-bangkok-recorder-and-siam-government-gaze

Surat kabar Thai dimiliki oleh pemilik swasta, tetapi semua televisi dan radio dijalankan oleh pemerintah atau militer.

Pernyataan tersebut merupakan kebenaran yang terjadi pada pers di Negeri Gajah Putih ini. 

Pada artikel kali ini, saya akan membahas perkembangan surat kabar di Thailand sejak kedudukan Raja Rama I hingga saat ini yang dialami dalam 3 fase : Surat kabar Thai pertama, perjuangan kebebasan pers dan praktik jurnalisme Thai di masyarakat, perjuangan kemerdekaan pers.

1. Periode Sebelum Revolusi 24 Juni 1932

Sumber: https://www.katakini.com/artikel/38974/media-thailand-bantah-distorsi-berita-demo-anti-pemerintah/
Sumber: https://www.katakini.com/artikel/38974/media-thailand-bantah-distorsi-berita-demo-anti-pemerintah/

Ibu kota Bangkok didirikan pada tahun 1728 oleh Raja Rama I (1782-1809), Raja pertama dari Dinasti Chakri saat ini. Dia membuat dampak pada pengembangan pendidikan publik dengan mereformasi Gereja Buddha. 

Teknologi modern berupa mesin cetak memasuki Thailand dengan kedatangan misionaris dan pedagang Barat pada pertengahan 1800-an. Untuk pertama kalinya, buku cetak tersedia dalam bahasa Thailand.

Tahun 1844, muncul surat kabar mingguan The Bangkok Recorder milik Dr. Dan Beach Bradley, seorang misionaris Amerika di Thailand. Lalu diikuti dengan kemunculan Bangkok Daily Advertiser, dan Siam Daily Advertiser. Surat kabar ini didirkan oleh orang asing.

Pada tahun 1858, Raja Rama IV (1851-1865) memerintahkan pemerintah untuk mendirikan mesin cetak untuk digunakan sendiri dan mulai mencetak Royal Gazette atau Rajkitchanubeksa yang terus berlanjut hingga saat ini.

Selama masa pemerintahan Raja, masyarakat bebas untuk melaporkan dan mengkritik mereka. Sehingga meningkatnya masyarakat Thai menjadi jurnalistik dan terdapat meningkat pula para pembaca koran atau majalah.

Umumnya ada jurnalisme bebas di bawah Monarki absolut. Periode  "Zaman Keemasan Jurnalisme Thailand" muncul pada masa pemerintahan Raja Rama V karena sebagian besar bebas untuk mengkritik.

Raja Wachirawut (Rama VI) memerintah selama transisi dari kuno ke Thailand modern. Dia melanjutkan modernisasi yang diperkenalkan oleh ayahnya. 

Pada akhirnya dari masa pemerintahan Rama VI, Siam memiliki banyak keseriusan masalah, banyak di antaranya adalah kemunduran dihasilkan dari modernisasi.

Siam menghabiskan banyak uang untuk teknologi barat, sambil menerima sedikit dari mengekspor sebagian besar pertanian produk.

Raja menolak reformasi politik atau demokratisasi sistem Absolute monarki. Dengan demikian, masa pemerintahan Raja Wachirawut didirikan 22 surat kabar, dan 123 jurnal.

Singkat cerita, pada masa pemerintahan Raja Prachatipok (Rama VII), orang Thailand mulai menuntut lebih besar kebebasan berekspresi yang tercermin dalam konstitusi Thailand pertama pada tahun 1932. Setelah periode ini, tradisi keterlibatan kerajaan dalam jurnalisme Thailand berakhir.

2. Situasi Pers di bawah sebuah Monarki Konstitusional dari 1933 - 1992.

Field Marshal Pibulsongkhram. Sumber: https://alchetron.com/Plaek-Phibunsongkhram
Field Marshal Pibulsongkhram. Sumber: https://alchetron.com/Plaek-Phibunsongkhram

Periode kebangkitan partai rakyat menandakan awal demokrasi di Thailand yang dipimpin oleh Pridi Panomyong.

Saat itu, pers beroprasi dibawah ketakutan karena pada periode ini wartawan dan politisi elit sosial menjalin relasi untuk memanipulasi surat kabar menjadi corong propaganda untuk tujuan politik.

Field Marshal Pibulsongkhram merupakan perdana mentri selama Perang Dunia II yang mengetahui kekuatan media massa, sehingga ia melakukan monopoli pada surat kabar dan radio untuk mebentuk popularitas dengan menyebarkan sudut pandang dan advokat nasionalismenya di Thailand.

Gambar Pibulsongkhram juga harus dilihat masyarakat, sementara potret mantan raja Raja Prajadhipok dilarang.

Pada Tahun 1939, Pibulsongkhram mengubah nama negara dari Siam menjadi Thailand yang berarti 'tanah kebebasan.  Slogan rezim menjadi Thailand for the Thai.

Modernisasi merupakan tema penting dalam nasionalisme baru Thailand Pibulsongkhram. Dari tahun 1938 hingga 1942 ia mengeluarkan dua belas Mandat Budaya. 

Selain mewajibkan semua warga Thailand untuk memberi hormat pada bendera, mengetahui Lagu Kebangsaan, dan berbicara dalam bahasa nasional, mandat tersebut juga mendorong warga Thailand untuk bekerja keras, tetap mendapat informasi tentang peristiwa terkini, dan berpakaian dengan gaya barat.

Pada tahun 1953-1963, muncul "Zaman Kegelapan Jurnalisme" selama pemerintahan Marsekal Lapangan Sarit Thanarat, yang menjadi perdana menteri, pers terusmenerus diancam oleh Pengumuman No.17, yang dikeluarkan oleh Partai Revolusionernya pada tahun 1958. Pengumuman itu mensyaratkan:

calon penerbit surat kabar... untuk mengajukan izin dan bahwa setiap pernyataan penerbitan surat kabar karakter tertentu harus diperingatkan, disita, dan dimusnahkan atau menjalani hukuman dalam bentuk pencabutan lisensi penerbit, printer atau pemilik.

Pernyataan yang ditargetkan untuk dihukum dalam pengumuman adalah pernyataan yang menyinggung raja, mendiskreditkan pemerintah, berkontribusi pada popularitas atau keinginan taktik subversif komunis, dan cenderung merusak moral bangsa. Pengumuman No. 17 dianggap sebagai simbol pamungkas melenyapnya kebebasan pers di Thailand.

Untuk mendapatkan kebebasan pers, Asosiasi Pers Thailand mengajukan petisi kepada pemerintah, sehingga pers di Thailnad menjadi bebas dalam arti yang sebenarnya.

3. Perjuangan untuk Kemerdekaan Tekan setelah Krisis Berdarah 17 - 18 Mei 1992 hingga Saat Ini.

 Isyarat tutup mulut bagi jurnalis. Sumber: https://blogs.voanews.com/repressed/2014/05/27/thailand-in-wake-of-coup-media-freedom-threatened/
 Isyarat tutup mulut bagi jurnalis. Sumber: https://blogs.voanews.com/repressed/2014/05/27/thailand-in-wake-of-coup-media-freedom-threatened/

Setelah pemberontakan Mei 1992, negara berusaha mengontrol media khususnya radio dan televisi, hanya surat kabar yang bebas dari kontrol negara.

Sehingga saat ini, Thailand hanya media cetak tidak dikendalikan oleh pemerintah, Thailand secara tradisional menikmati pers yang bebas dan penuh warna. 

Jurnalis Thailand telah menjadi katalis, mengadvokasi hak rakyat untuk mengetahui. Mereka menganggap diri mereka lebih bebas

Dibanding jurnalis lain dari Asia Tenggara negara seperti Singapura, Malaysia, dan Indonesia antara lain dimana pemerintah mengontrol pers. Thailand sebagai sistem pers berkomitmen pada konsep pembangunan jurnalistik.

Namun,negara telah bergeser menekankan pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Status pers nasional dipengaruhi oleh proses ekonomi yang sedang berlangsung dengan penekanan pada profesionalisme. Hal ini berdampak pada kualitas jurnalisme Thailand.

Teori Pers

Sejarah jurnalisme di Thailand terkait dengan teori media yaitu modernisasi yang berdampak pada perkembangan sosial, politik dan ekonomi Thailand. Sehingga jurnalisme memiliki peran kontributif dalam pembangunan. 

Di bawah rubrik teori media, sebenarnya terdapat berbagai teori yang berdampak pada media yaitu perkembangan jurnalisme.

Istilah modernisasi digunakan untuk merujuk pada keseluruhan proses perubahan sosial, ekonomi, intelektual, politik dan budaya yang terkait dengan perpindahan masyarakat dari kondisi yang relatif miskin, pedesaan, agraris ke kondisi industri yang relatif makmur, perkotaan.

Ini menyiratkan bahwa modernisasi mengacu pada keadaan di mana masyarakat menjadi semakin terindustrialisasi dan terurbanisasi dan lebih bergantung pada media dan komunikasi. 

Akibatnya filosofi pembangunan Thailand didasarkan pada mengikuti pola masyarakat modern di negara-negara barat dalam hal politik dan ekonomi mereka.

Oleh karena itu, kebebasan berekspresi jurnalis dikendalikan oleh kelompok-kelompok kekuatan politik. 

Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan politik mempengaruhi kebebasan pers. Dengan kata lain, kebebasan pers berasal dari individu-individu yang memiliki kekuasaan di partai politik.

Secara umum, berikut adalah hasil dan tujuan dari perkembangan jurnalisme di Thailand:

 1. Sekolah jurnalistik didirikan dan masa depan wartawan diajarkan.

2. Wartawan membebaskan diri dari kewajiban gerbang untuk kepentingan lain.

3. Pers menempatkan opini di tempat tertentu, yaitu, halaman opini.

4. Pembentukan ombudsman di media untuk menjadi pendukung pembaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun