Siapa yang "Menang"?
Kalau kita melihat dari dua sisi tadi, jawabannya tidak sesederhana "budaya lokal kalah" atau "budaya global menang". Persaingan antara keduanya tidak berlangsung dalam hitam-putih, melainkan berada di ruang abu-abu yang kompleks.Â
Dalam konteks tren global, algoritma memang tampak mendominasi. Ia bekerja seperti kurator tak terlihat yang menentukan apa yang layak viral dan apa yang tenggelam di sudut internet. Budaya pop global seperti musik K-Pop, gaya fashion Barat, atau konten humor internasional dapat dengan mudah menembus batas negara karena formatnya sudah disesuaikan dengan selera massa dan mesin algoritmik.Â
Di sisi lain, budaya lokal tidak sepenuhnya menjadi korban. Di level komunitas, ia masih menjadi perekat identitas dan sumber kebanggaan yang tak tergantikan. Konten lokal yang lahir dari pengalaman sehari-hari, dari dialek, tradisi, hingga makanan khas, tetap punya daya tarik emosional yang kuat di mata penonton lokal.Â
Sementara itu, di antara dua sisi tersebut, muncul bentuk ketiga yang semakin dominan: budaya campuran atau hybrid culture. Budaya ini memadukan unsur lokal dan global dalam satu paket yang relevan dan mudah diterima audiens digital. Misalnya, tarian tradisional yang dikemas dengan irama elektronik modern, atau bahasa daerah yang digunakan dalam format meme populer.Â
Dalam bentuk inilah, budaya lokal justru menemukan napas baru. Jadi, pertanyaan "siapa yang menang" sebetulnya tidak perlu dijawab dengan satu nama pemenang, karena keduanya saling berinteraksi, beradaptasi, dan saling membentuk. Budaya lokal bisa bertahan, bahkan bersinar jika mampu menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati dirinya. Sementara algoritma global akan selalu mencari konten yang paling hidup dan otentik di mata pengguna.
Tantangan untuk Budaya Lokal
Agar bisa terus "menang" atau minimal eksis secara kuat di era algoritma global ini, budaya lokal perlu menghadapi beberapa tantangan:
Kualitas produksi & sumber daya. Produksi konten yang menarik secara visual atau catchy memerlukan peralatan, pengeditan, kreator yang memahami tren. Tidak semua komunitas dan konten kreator lokal punya akses ke modal itu.
Literasi digital & pemahaman algoritma. Banyak kreator lokal yang aktif, tapi agak "buta" algoritma: bagaimana tag, waktu posting, penggunaan hashtags, kolaborasi, dan promosi dapat mempengaruhi jangkauan.
Dukungan dari media, pemerintah & institusi lokal. Perlu upaya bersama: pelatihan kreator lokal, bantuan akses teknologi, insentif budaya, pengenalan budaya lokal di kurikulum formal & informal.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!