Mohon tunggu...
Muchamad Fikrul Alam
Muchamad Fikrul Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah Muchamad Fikrul Alam, mahasiswa jurusan Sastra Inggris di Universitas Airlangga. Seorang individu yang memiliki ketertarikan yang besar pada filsafat, politik, sastra, dan budaya. Hobi saya adalah traveling. Saya memiliki kepribadian yang tekun dan teliti dalam setiap hal yang saya lakukan. Saya selalu ingin belajar banyak hal baru, yang terkadang membawa saya ke dalam tantangan dan perjalanan yang baru. Saya juga memiliki ambisi yang besar untuk mencapai tujuan dan impian saya. Dalam waktu luang saya, saya senang membaca dan mempelajari hal-hal yang menarik minat saya seperti filsafat, politik, sastra, dan budaya. Saya percaya bahwa dengan memperdalam pemahaman saya terhadap topik ini, saya dapat menjadi lebih bijaksana dan terbuka terhadap perspektif dan sudut pandang yang berbeda.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Lokal vs Algoritma Global: Siapa yang "Menang" di Era Media Sosial

10 Oktober 2025   17:38 Diperbarui: 10 Oktober 2025   17:38 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Zaman sekarang, kita hidup di era media sosial di mana batas antar budaya di antar negara, antar bahasa, bahkan antar provinsi semakin kabur. Dalam hitungan detik, pengguna TikTok di Surabaya bisa melihat konten dari influencer di China, reaksi meme dari Trend Phonk Brazillian, atau hiburan dari India. Algoritma, itulah otak digital yang memutuskan apa yang kita lihat turut besar mempengaruhi selera budaya kita.

Tapi pertanyaannya: dalam "duel" antara budaya lokal dan algoritma global atau mungkin bisa diubah diksinya menjadi upaya budaya lokal dalam mempertahankan esensinya melawan algoritma global di dunia yang serba digital, siapa yang sebenarnya "menang"? Apakah budaya lokal masih punya ruang, atau kah kita tersedot ke arus budaya global yang seragam? Mari kita kulik lebih lanjut.

Algoritma: Kurator Global yang Tak Terlihat

Pertama, mari kita definisikan algoritma media sosial. Menurut Merlyna Lim, seorang profesor di Carleton University, serta Ketua Penelitian Kanada dari Digital Media and Global Network Society di Ottawa dalam artikel Algoritma di Media Sosial VoA Indonesia menuturkan bahwa Algoritma merupakan seperangkat aturan otomatis yang memutuskan konten apa yang muncul di feed kita, berdasarkan apa yang kita sukai, klik, tonton, atau bahkan abaikan. Ia menggaris-bawahi bahwa algoritma itu sekadar mesin pembelajaran dan pengurutan, dan algoritma belajar dari manusia-manusia pengguna media sosial itu sendiri. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube mengandalkan algoritma untuk mempertahankan pengguna. Semakin lama kita berada di aplikasi, semakin banyak iklan yang bisa muncul, semakin banyak interaksi yang didapat.

Efeknya: kita cenderung mendapatkan konten yang "aman" secara algoritma, yaitu konten yang telah terbukti populer, viral, atau cocok dengan tren global. Misalnya: challenge dance, lagu hits luar negeri, format video singkat humor, gaya visual tertentu yang sudah "teruji pasar". Namun sebaliknya, hal ini juga bisa menjadi pisau bermata dua ketika adanya polarisasi media sosial yang disebabkan oleh algoritma karena akan memperburuk perpecahan sosial dan menghambat dialog publik yang sehat, karena pengguna cenderung hanya terpapar pada informasi yang memperkuat keyakinan mereka sendiri.

Akibatnya, budaya asing dengan akses modal besar (studio, promosi, jaringan global) mudah sekali tampil menonjol. Konten dari budaya lokal, terutama dari daerah terpencil bisa kalah bersaing karena:

  1. Produksi konten lokal seringkali sederhana, tanpa biaya tinggi, sehingga kurang cocok dengan standar visual "instagrammable / reels-worthy" global.

  2. Tidak selalu menggunakan bahasa nasional, apalagi bahasa daerah, yang dapat membatasi jangkauan algoritma (algoritma "cerna" bahasa yang populer secara nasional atau internasional lebih mudah).

  3. Tren global cepat berganti, sehingga konten lokal yang tak bisa atau tak mau mengikuti cepat dianggap "ketinggalan".

Menurut Abdul Rohim (2025) dalam studinya yang berjudul "Dinamika Fragmentasi Khalayak dalam Konsumsi Konten Budaya Lokal" menunjukkan bahwa algoritma tersebut dapat memicu fragmentasi audiens: pengguna hanya melihat konten yang secara budaya sudah mendekati preferensi mereka, yang sebagian besar adalah budaya global populer.  

Sebagai contoh, generasi muda di Indonesia cenderung lebih "terpapar" budaya dari Korea dan Jepang karena daya tarik visual, musik, dan cerita mereka; sementara budaya lokal kadang muncul lebih sebagai elemen dekoratif atau pelengkap daripada pokok pembicaraan (Asih, I. W., Tantri, S. N., & Prima, S. R. (2024) dalam Global and local cultural contestation in the digital age: Indonesian Gen Z's responses to foreign cultures and national identity.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun