Mohon tunggu...
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama Mohon Tunggu... -

Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama (fikri)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bulan Merah Jambu

8 Maret 2014   23:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:08 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari baru saja mengintip dari celah jendela. Induk burung pergi mencari cacing untuk mulut-mulut anak mereka yang masih lembek. Gumpalan embun melekat di ujung dedaunan dan membasahi bunga rumput liar. Namun di suatu sudut, sebuah rumah kecil sudah disibukkan dengan suara berisik. Rumah kecil itu sudah sedemikian bising dengan rengekan salah satu penghuninya. “Kapan giliranku?” isaknya. “Kapaaaan?” “Tunggu! Giliranmu belum tiba.” “Sampai kapan aku harus menunggu?” Sebagai abangnya, Merah Tua mencoba menenangkan adiknya. Sudah berhari-hari Merah Jambu membuat seisi rumah kalang kabut kebakaran jenggot dengan masalah yang itu-itu saja.  Ia gusar menanti gilirannya yang tak kunjung tiba. Ia merasa masa hidupnya terbuang sia-sia setelah sekian lama menunggu. Tempo hari, saat Coklat dan Hijau mendapat giliran, Merah Jambu cemberut di pojok rumah. Terlebih ketika mengetahui Coklat dan Hijau pergi ke Brasil. Dari siaran televisi, Merah Jambu tahu tak sampai setengah hari kepergian Coklat dan Hijau, hutan tropis Amazon sudah berwarna. Tidak begitu berbeda saat Biru mendapat giliran. Biru bergegas meloncat keluar rumah dengan girang. Baru sebentar Biru pergi, bibir Merah Jambu manyun. Dimatikannya siaran televisi bersamaan dengan berita tentang Samudera Pasifik sudah berwarna biru. Lagi-lagi Merah Jambu dengki hati. Hitam adalah yang paling sering pergi. Usai Merah Tua mewarnai apel yang sudah matang di perkebunan di sekitar Kiev, atau Coklat yang mewarnai batang pohon di pinggir perbatasan Bogota, atau Biru yang mewarnai aurora di langit Reykjavik, atau abu-abu yang mewarnai cula di hidung badak di Ujung Kulon, atau hijau yang mewarnai ulat-ulat pemakan daun mawar sebelum menjadi kupu-kupu, atau Kuning yang mewarnai pantulan sinar matahari di sebersit percikan air terjun Niagara, adalah giliran Hitam. Diwarnainya bayangan-bayangan hingga serupa warna dirinya. Merah Jambu makin kesal. Abu-abu yang ia kira hanya mendapat satu giliran, alih-alih mendapat giliran lagi seminggu kemudian. Awan mendung di atas Gunung Kilimanjaro butuh warna. Sekedipan mata, Abu-abu meluncur menuju titik tertinggi di Afrika. Merah Jambu membanting pintu kamarnya lalu meraung-raung di balik guling. Merah Tua yang ingin menenangkan adiknya harus gigit jari. Baru dua langkah memasuki kamar sang adik, ia mendapat lemparan bantal. Kalau tidak berkelit, bantal sudah mengenai wajahnya. Akhirnya Merah Tua menunggu kondisi Merah Jambu sampai tenang. “Abang!” Teriaknya kencang kepada sang kakak. “Kapan giliranku?” “Sabar, kamu belum saatnya untuk keluar rumah, karena kamu istimewa!” “Ahh! Dari dulu Abang selalu bilang itu, tapi sampai sekarang aku masih saja diam di rumah!” “Sabar! Semua ada porsinya!” “Ahh!” Ia berlalu membelakangi Merah Tua dengan memberikan isyarat tangan tanda marah.

***

Tidak tahan menunggu, Merah Jambu berencana jahat. Pada suatu ketika saat malam hari, saat semua penghuni rumah kecil lelap di peraduan, Merah Jambu nekat. Tanpa sepengetahuan abangnya, diam-diam ia minggat. Ia mengendap-endap berjinjit melewati celah antarkasur. Tanpa suara, Merah Jambu menggeser pintu sepelan mungkin. Dengan sedikit usaha memanjat, ia berhasil melewati pagar pembatas dan berada di luar. “Semua ada porsinya!” Ia terngiang-ngiang pesan abangnya. Di kepalanya pesan Merah Tua perlahan makin kabur seiring langkahnya meninggalkan rumah. Dunia yang selama ini ia tunggu dari balik jendela rumah tersaji di depannya. Ia bahagia setengah mati saat melihat matahari yang kuning, dedaunan yang mengering, tanah becek yang menjijikkan, dan sigung yang berbau tengik. Ia senang bukan main melihat terumbu karang yang mulai tumbuh, hiu macan yang makan dengan rakus, antelop yang berlari ketakutan di depan cheetah, gajah-gajah yang menyemprot lumpur dari ujung belalai, dan hamparan padang rumput yang terbakar. Kebahagiaan itu terhenti. Semua sudah berwarna. Teman dan saudaranya di rumah kecil tidak menyisakan ruang untuk ia warnai. Sedikitpun! Merah Jambu yang tadi meloncat-loncat penuh suka ria berganti dengan kemurkaan yang melanda tubuhnya. Kemurkaan yang dibahanbakari oleh rasa dengki dan iri yang berada dalam tubuhnya, bahkan hingga ujung kukunya. Kalap. Merah Jambu tak keruan seorang diri. Ia mencari apa saja yang bisa ia warnai. Tapi setiap ia melangkah, tak ada rongga kosong yang bisa ia warnai. Dari timur hingga tenggara, semua sudah penuh dengan warna. Emosi telah membuatnya merajalela. Ia warnai semua yang ia temui dalam perjalanannya. Tak peduli pohon, tak peduli daun, tak peduli hewan melata, hingga bulan. Begitu lepas dari keadaan gelap mata, Merah Jambu menangis. Merah Jambu menengok ke belakang dan menyesali apa yang telah ia perbuat. Ia telah merusak semuanya. Warna-warna yang seharusnya sesuai porsinya berubah seketika akibat polahnya. Kini, semua benda yang ia lewati berwarna merah jambu.

***

Penghuni rumah kecil mulai terbangun satu persatu. Masing-masing sibuk dengan kegiatannya. Karena tak ada suara manja Merah Jambu, semua terasa aneh. Menyadari tidak ada rengekan Merah Jambu, Merah Tua mencari keberadaan adiknya. Terkejutlah ia saat mendapati kamar Merah Jambu yang lowong. Merah Tua memberitahukan situasi itu kepada seisi rumah. Tentu saja hal itu membuat gempar. Semua penghuni punya dugaan ke mana Merah Jambu pergi sambil seksama mencari di sekitar rumah kecil. Siang hari, Merah Jambu mengetuk pintu rumah kecil sambil menangis. Semua penghuni kaget dengan kehadirannya. Dengan sesenggukkan, Merah Jambu menceritakan segala hal yang telah ia lakukan saat yang lain tidur kepada Hitam, selaku pemimpin rumah kecil tersebut. Tambah ricuhlah suasana rumah kecil. Hitam melihat keadaan di luar lewat monitor kecil. Kehancuran itu tidak bisa ditoleransi. Hitam mengumpulkan para penghuni rumah kecil untuk berdiskusi. Para penghuni rumah kecil sepakat akan memberi hukuman yang sepadan dengan apa yang telah Merah Jambu lakukan. Walau Merah Tua adalah sosok yang dituakan di dalam rumah, Merah Jambu tetap tak bisa terhindar dari sanksi. Hitam memanggil Merah Jambu. Begitu Merah Jambu duduk, Hitam mendekati tubuhnya. Keberadaan Hitam sangat dirasakan Merah Jambu sebagai ketakutan dalam wujud sentuhan. Merah Jambu dapat merasakan dengusan nafas Hitam yang merayap pelan di lehernya. Sesekali Merah Jambu harus menahan nafas karena tak kuat menahan gelinjang tubuhnya. Hitam memerintahkan yang lain untuk memegang Merah Jambu dengan sangat erat. Lalu tangan dan kaki Merah Jambu diikat dengan tali. Ia meronta-ronta. Tenaganya jelas tak kuat melawan 10 orang. Merah Tua hanya bisa menyaksikan, tanpa bisa berbuat apa-apa demi menolong adik satu-satunya. Dalam sekejap, pakaian Merah Jambu dilucuti. Kemudian perutnya disobek dengan menggunakan kail besar, yang biasa dipakai khusus untuk memancing ikan marlin. Dalam satu gerakan, rongga besar menganga di atas perutnya. Darah segar muncrat dari pembuluh darah. Teriakan Merah Jambu sungguh menyayat bagi siapa saja yang mendengar. Sedetik kemudian, jeritan itu tak terdengar lagi. Coklat membawa gergaji mesin untuk memotong kaki Merah Jambu hingga ia tak mampu lagi bersuara. Hijau mengiris-iris jarinya sesuai dengan garis ruas jari. Sementara Biru menyilet pergelangan tangannya. Merah Jambu mati. Sebagai penutup, layaknya algojo, Hitam memancung kepala Merah Jambu dengan kapak. Butuh dua-tiga kali pukulan agar kepala Merah Jambu terpisah dari leher. Di pukulan keempat, kepala Merah Jambu terguling-guling, badannya masih bergerak-gerak kejang. Akhirnya mereka beramai-ramai mengarak kepala Merah Jambu untuk digantung, persis di atas pintu di bawah atap rumah sebagai pengingat bagi penghuni yang lain. Itulah hukuman yang setimpal untuk Merah Jambu karena telah menjadikan warna tidak sesuai porsinya. *gambar dari sini. [Jakarta – Cirebon. Februari 2014. Fikri]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun