Mohon tunggu...
Fiahsani Taqwim
Fiahsani Taqwim Mohon Tunggu... Penulis - :)

Penganut Absurditas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Burgundy

6 Maret 2021   09:44 Diperbarui: 6 Maret 2021   09:48 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Oh tidak perlu risau. Kita biarkan lumba --lumba itu berenang dari perairan Ambon ke Nusa Penida. Sekarang kan sudah ada GPS, tentu saja mereka akan tiba di sini dengan selamat tanpa tersesat."

Aku terkekeh tanpa suara mendengar penjelasannya. Pak Hans memang selalu berusaha untuk membuat orang-orang di sekitarnya terbahak-bahak, ya walaupun terkadang dia gagal juga membuatku tertawa. Tiap kali kami terlibat pembicaraan, beliau pasti berceloteh ngawur demi membuatku mengeluarkan tawa.

Pada malam Minggu ini, beliau bermaksud untuk mengajakku kencan pertama. Sungguh aneh rasanya diapeli seseorang karena sudah sejak lama aku tidak merasakannya. Pak Hans meminta agar aku berdandan semanis mungkin. Akan tetapi, permintaannya tidak kukabulkan. Aku memilih untuk mengenakan pakaian lecek yang telah kupakai saat kerja tadi pagi dan tidak kuberi wewangian sedikit pun. Untuk urusan make up, kuputuskan hanya memoles bibir kecilku dengan lipcream warna burgundy yang tadi siang baru kubeli di toko kostemik langganan. Sebetulnya aku tidak ingin menarik perhatian Pak Hans dengan warna burgundy ini, namun karena ini lipcream baruku, jadi aku begitu bernafsu untuk memakainya.

Aku telah dua jam menanti kedatangan Pak Hans. Terlalu lama menunggunya membuatku kesal dan akhirnya kuambil sikap tegas: kukatakan padanya bahwa apabila tidak datang dalam waktu dua puluh menit maka pertemuan kita resmi batal. Pak Hans langsung menelpon dan menjelaskan perihal keterlambatannya. Ternyata beliau baru saja menabrak mobil lain yang ada di depannya. Oleh sebab itu, beliau perlu durasi tambahan untuk mempertanggungjawabkan kecerobohannya dalam perjalanan menuju rumah kosku.

Setibanya di depan rumah kosku, aku mendapati Pak Hans dalam keadaan sehat walafiat. Hanya bagian depan mobilnya sedikit tergores dan kaca lampu kirinya pecah. Aku mempersilahkannya menyamankan diri duduk di ruang tamuku sembari menyuguhkan secangkir capucino. Malam ini Pak Hans terlihat begitu gugup. Aku menahan tawaku dalam dada. Entah apa yang sedang dialami dan dipikirkan oleh lelaki ini hingga sebegitu senewennya pada perjumpaan kami. Aku menduga, kecelakaan ringan yang baru saja dialaminya ada hubungannya dengan kegelisahan yang menyelimuti kalbunya sebelum bertemu denganku. Kemungkinan besar Pak Hans kehilangan konsentrasinya sepanjang jalan menuju rumah kosku.

Berbeda denganku yang berusaha untuk tampil apa adanya pada kencan kami, Pak Hans tampak begitu mempersiapkan diri. Aroma parfumnya keterlaluan. Wangi sekali. Aih, andai saja beliau tahu kalau aku yang dimintanya untuk berdandan yang manis malah memutuskan untuk tidak mandi sebelum berjumpa dengannya.

Kami mengobrol sebentar di ruang tamuku kemudian segera pergi untuk makan malam. Di dalam mobilnya aku banyak terdiam dan hanya mendengarkan kisah-kisahnya. Aku ingin banyak mendengar agar aku dapat memahami lebih jauh kehidupan lelaki ini. Sangat penting bagiku untuk dapat mengerti watak dan sejarah hidupnya supaya aku dapat mengambil sikap bagaimana cara terbaik untuk menghadapinya.

"Abang suka warna bibirnya." Katanya. Sepertinya biasa, aku hanya bereaksi melalui sebuah senyuman. Benar kan dugaanku, lipcream baruku ini pasti menarik perhatiannya.

Selepas menemaninya makan nasi Padang, kami melanjutkan perjalanan tanpa tujuan. Beliau membawa mobilnya entah kemana dan membuat kami menikmati kemacetan kota Denpasar. Kami akhirnya berhenti di Pantai Sanur. Saat kami berdua berjalan menyusuri pantai, Pak Hans terus bercerita tentang kehidupannya. Aku sesekali bertanya ini itu dan beliau menjawab dengan raut muka penuh kasih seperti para guru yang membimbing murid-muridnya. Lelaki ini sangat pintar dan tahu banyak hal. Aku tidak bisa memungkiri bahwa aku terkesan padanya.

Agak susah untuk menjelaskan bagaimana perasaanku terhadapnya. Aku sendiri pun masih bingung. Kadang aku khawatir kalau beliau akan mempermainkanku dan hanya menjadikanku sebagai pelampiasan atas kelembutan yang dibutuhkannya di tengah deadline dan permasalahan proyek yang harus dirampungkannya. Akan tetapi, di sisi lain, aku merasa tidak sampai hati untuk tidak meladeninya. Sejak perkenalan kami beberapa waktu silam, instingku mengatakan bahwa aku akan baik-baik saja bersama lelaki ini. Oleh karena itu, aku masih bertahan dalam permainannya hingga detik ini.

Pak Hans adalah pria berusia matang, sementara aku baru berusia 23 tahun. Aku ingin sekali berteman dengannya dan memberikannya kesempatan untuk menjadikanku kelembutan yang beliau idamkan. Bukan hal yang susah buatku apabila hanya untuk sekedar menjadi pendengar sekaligus teman makan malam baginya. Namun, ini tidaklah mudah. Pasti tidak akan mudah. Semua orang di proyek pasti akan menggunjing kami setiap saat. Belum lagi tatapan aneh dari orang-orang sekitar yang melihat kami berjalan beriringan. Orang-orang di sekitar kami pasti berpikir bahwa aku telah menggoda Pak Hans agar aku berhasil menjadi distributor properti utama di proyeknya. Ah, kenapa dalam kasus seperti ini pasti perempuan yang harus dijadikan sorotan dan dibuat tidak enak hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun