“Ibuku cuma bilang kalau Eyang sakit. Terus aku disuruh banyak-banyak berdoa buat kesembuhan Eyang. Tapi tidak cerita banyak. Lagi pula, aku kan jauh. Pasti dianggap tidak terlalu berguna kalau pun diberi banyak cerita.”
“Iya juga sih. Kalau aku kan memang satu kampung dengan Tante Lin, Eyang, dengan ibumu juga. Jadi, ya sudah pasti banyak yang aku dengar.”
“Terus-terus, apa lagi?” tanya Halimah penasaran karena kali ini dia menyadari bahwa dia telah ketinggalan sangat jauh. Halimah berpikir, kalau sudah seheboh itu, berarti urusan ini adalah masalah keluarga besar, tidak hanya antara tante dan omnya yang bercerai saja. Dengan demikian, dia juga berhak tahu.
“Dik Imah, kamu tahu enggak, gara-gara masalah ini, keluarga kita jadi bahan omongan. Di mana-mana semua orang bergosip, ngomongin kita.”
Halimah bisa membayangkan betapa ramai tanah kelahirannya dengan berita menggemparkan ini. Seorang putri bungsu pasangan Pak Haji dan Bu Hajah terpandang di kampung, menggugat cerai suaminya yang ketahuan berselingkuh. Semakin semarak, lantaran omnya Halimah adalah penduduk asli kampung Sumber Sono. Dengan demikian, meletuslah perang saudara dalam satu kampung tersebut dikarenakan setiap kerjadian yang diceritakan itu pasti memiliki dua versi. Pihak keluarga besar omnya Halimah tidak akan berpangku tangan melihat putra terbaik mereka dipojokkan dan dianggal tidak bermoral seperti itu.
“Ibu mertuanya Tante Lin dan anak-anaknya yang lain datang ke rumah Eyang. Ibu mertuanya sih cuma menangis, tapi adik-adiknya Om Maksum itu, ya ampun, marah-marah tidak jelas dan meminta semua uang yang pernah diberikan oleh Om Maksum dikembalikan. Ya kali, masak uang makan bakso, uang bayar parkir, dan lain-lainnya diminta juga. Goblok sekali. Amit-amit…….. Dik Imah, untung kamu tidak ada di rumah saat itu. Aku yang cuma bisa mendengar dari rumah sebelah saja campur aduk rasanya. Padahal aku tidak menghadapi langsung. Bayangkan, bagaimana Ibu kita yang saat itu di sana menemani Eyang.!”
Halimah menghela napas panjang sekali. Dia marah tanpa mengeluarkan emosi kepada omnya yang seperti binatang itu. Dalam benak Halimah, bagaimana pun, omnya adalah biang keladinya.
“Mbak, apakah mereka juga rebutan anak?” Tanya Halimah kepada Kakak sepupunya.
“Jelas.”
“Lalu, Tante Lin dapat hak asuhnya?”
“Ya iyalah. Orang pengadilan juga tidak bodoh. Mereka paham kalau Om Maksum yang salah.”