Setelah hari itu---perjalanan ke ruang server yang hanya 7 menit, tapi rasanya kayak satu episode hidup baru---Ria mulai memperhatikan hal-hal kecil.
Seperti caranya Ethan kadang mengetuk-ngetukkan pulpen ke meja saat berpikir, atau cara dia selalu duduk tegak tapi santai. Tenang. Dingin. Tapi hangat... entah kenapa.
Dan sejak Ethan bilang mau nunjukin gambar ke Ria, hati Ria jadi nggak karuan tiap masuk kantor. Seperti ada sesuatu yang ditunggu.
Lalu hari itu datang. Hari Jumat, hampir jam 4 sore, Ethan berdiri di samping meja Ria.
"Lu ada waktu bentar?" tanyanya pelan, dengan tablet di tangan.
"Eh iya, Pak. Ada. Kenapa?"
"Boleh minta pendapat?"
Ria mengangguk dan berdiri, ikut duduk di meja kecil di ruang meeting sebelah. Ethan menunjukkan beberapa sketsa---tentang pegunungan, pohon-pohon, dan... satu gambar yang bikin Ria diam. Seorang perempuan berdiri membelakangi kamera, rambutnya panjang dan bergelombang.
"Hmm... ini siapa?" tanya Ria, mencoba terdengar santai.
"Cuma karakter aja," jawab Ethan cepat, tapi matanya nggak melihat layar. Dia menatap Ria sesaat, lalu kembali fokus.
Bohong, pikir Ria. Itu pasti gue. Gaya rambutnya... bajunya...
Tapi dia nggak bilang apa-apa. Nggak mau GR. Nggak mau ngarep.
Mereka menghabiskan hampir 30 menit duduk berdua, ngomongin warna, pencahayaan, tekstur---tapi entah kenapa, itu jadi momen paling nyaman yang pernah Ria rasakan sejak bekerja.
Bukan karena topiknya, tapi karena Ethan. Karena diamnya. Karena caranya mendengarkan. Karena tatapan matanya yang, meskipun datar, tidak pernah benar-benar kosong.
Saat hendak kembali ke mejanya, Ethan berkata pelan, "Thanks ya. Insight-nya bagus. Lu kayak ngerti gue gambar apa."
Ria tersenyum. "Kayaknya gue udah lihat pola lu, deh. Lu lebih banyak gambar yang... tenang, tapi kayak nyimpan sesuatu."
Ethan tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Tapi Ria bisa lihat ada sesuatu di matanya. Sesuatu yang belum sempat diucapkan.