Mohon tunggu...
fida wahyu
fida wahyu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

financial, business, social

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Turunnya Permukaan Tanah di Jakarta

7 Oktober 2022   00:10 Diperbarui: 7 Oktober 2022   00:17 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Sadarkah kalian bahwa permukaan tanah di Jakarta semakin menurun? Penurunan permukaan tanah yang terjadi di Jakarta bukanlah masalah yang sepele. Penurunan tanah ini terjadi di seluruh DKI Jakarta. Peneliti geodesi dan geomatika dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Heri Andreas menjelaskan bahwa sekitar 9.000 hektare lahan Jakarta sudah berada di bawah permukaan laut. 

Namun, lahan tersebut tetap kering saat ini karena adanya tanggul laut dan tanggul sungai. Merujuk data satelit yang dikumpulkan ITB selama 20 tahun, kenaikan permukaan air laut di perairan Indonesia diperkiraan sekitar 3 - 8 mm per tahun. Jakarta Utara adalah wilayah terparah, terjadi penurunan setiap tahunnya dengan kedalaman mencapai 25 cm. 

Jakarta Barat turun sampai 15 cm per tahun. Jakarta Timur, 10 cm setiap tahunnya. Penurunan tanah sedalam 2 cm terjadi di Jakarta Pusat. Sementara, di Jakarta Selatan penurunannya sekitar 1cm per tahun. Jika hal ini tidak segera ditindak, maka hanya menunggu waktu saja sampai seluruh wilayah di Jakarta akan berada di bawah laut.

Fenomena ini disebabkan oleh kombinasi dua faktor. Faktor pertama adalah naiknya level air laut akibat pemanasan global yang melelehkan gunung es di kutub utara serta selatan. 

Semakin banyaknya manusia, semakin banyak pula masalah yang akan ditimbulkan. Salah satunya adalah pengeluaran emisi yang berlebih demi memenuhi kebutuhan manusia yang tak terbatas. Emisi yang berlebih ini menimbulkan efek rumah kaca.

Dari efek rumah kaca inilah pemanasan global terjadi yang mengakibatkan perubahan iklim, naiknya temperatur air laut, dan pencairan gletser. Kombinasi inilah yang menyebabkan sebagian wilayah akan tenggelam.

Faktor kedua adalah turunnya permukaan tanah akibat eksploitasi air tanah secara berlebihan, terutama pengambilan air tanah dalam yang berlebihan. Air tanah dalam adalah air tanah yang terletak di kedalaman sekitar 80 sampai 300 meter dibawah permukaan tanah. 

Mayoritas perumahan maupun gedung bertingkat menggunakan air tanah untuk sumber air utama karena PDAM hanya bisa memenuhi 40% kebutuhan air bersih, sedangkan sisanya harus dicari sendiri. Sebaiknya, pemakaian air tanah sebagai sumber utama air bersih harus segera dihentikan dan digantikan dengan sumber air yang lain. Akan tetapi, pertanyaannya, adakah sumber air yang dapat menggantikan air tanah untuk begitu banyaknya penduduk di Jakarta ini?

Gejala penurunan tanah semakin memburuk, khususnya di Jakarta Utara. Di Muara Baru, sebuah gedung dua lantai yang berdiri sejak tahun 1970 an, hampir menjadi gedung satu lantai. Sekitar tiga perempat lantai dasar gedung telah terbenam masuk ke tanah dan digenangi air. 

Masjid Wal Adhuna di Jakarta Utara yang selama 12 tahun belakangan ini secara perlahan tenggelam. Air sudah menggenangi separuh dari bangunan masjid. Masjid ini berlokasi tepat di balik tanggul besar penahan air laut di Pelabuhan Sunda Kelapa. Selain itu, Banjir rob juga semakin tahun semakin tinggi airnya.

Pemerintah harus segera menangani permasalahan ini dengan cepat. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan berpendapat bahwa mengambil air tanah harus benar dan dikembalikan dengan benar, beliau menekankan pengambilan air tanah harus dilengkapi sumur resapan. Padahal sumur resapan ini hanya dapat mengembalikan air ke sumber air tanah dangkal yang kedalamannya hanya beberapa meter saja. Alhasil, sumur resapan tidak akan bisa mengganti air tanah dalam.

Doktor geodesi ITB, Heri Andreas bahkan menyarankan pemerintah Jakarta untuk meniru apa yang dilakukan Tokyo. Ibukota Jepang itu sebelum tahun 1975, juga mengalami masalah penurunan permukaan tanah. Tokyo benar-benar menghentikan penggunaan air tanah. Tidak ada lagi gedung yang diperbolehkan mengambil air tanah. Dengan menerapkan kebijakan itu sejak tahun 1975, penurunan permukaan tanah di Tokyo pun berhenti.

Selain pemerintah yang kurang cepat tanggap dengan permasalahan ini, masyarakat pun kurang peduli terhadap masalah ini. Pemerintah tidak membatasi pembangunan di pinggir laut. Seharusnya, pembangunan-pembangunan yang ada di pinggir laut dibatasi, apalagi bangunan bangunan besar seperti hotel.

Hal ini akan berdampak kepada semakin cepatnya penurunan permukaan tanah di Jakarta. Terlebih lagi banyaknya praktik kurang terpuji yang dilakukan oleh bangunan-bangunan tersebut. Dari inspeksi di jalan Sudirman dan Thamrin, ditemukan 56 gedung memiliki sumur pengambilan air tanah dengan kedalaman lebih 200 meter. Sebanyak 33 di antaranya ilegal dan tidak memiliki izin atau sudah habis masa berlakunya. 

Selain itu, dari total 80 gedung, 37 gedung belum memiliki sumur resapan, atau sumur resapannya tidak berfungsi. Dilihat dari kasus ini, alangkah baiknya pemerintah menindak tegas dan memperketat pengawasan pada gedung-gedung yang tidak menaati peraturan.

Usaha pemerintah tidak akan bisa berhasil jika masyarakat tidak peduli dan tidak kooperatif. Maka dari itu, pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk menangani masalah penurunan permukaan tanah di Jakarta.

Sekarang jakarta memang  masih ada, tetapi jika tidak segera ditangani, generasi selanjutnya tidak akan bisa melihat Jakarta lagi. Kita sebagai masyarakat sebisa mungkin dukung program pemerintah untuk menghentikan masalah ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun