Mohon tunggu...
Fery. W
Fery. W Mohon Tunggu... Berharap memberi manfaat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penikmat Aksara, Musik dan Tontonan. Politik, Ekonomi dan Budaya Emailnya Ferywidiamoko24@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Jastip", dari Urusan Sosial Budaya ke Urusan Ekonomi

5 Oktober 2019   10:09 Diperbarui: 6 Oktober 2019   06:41 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak jaman baheula sebenernya urusan titip-menitip beli sesuatu kepada teman atau saudara yang kebetulan pergi ke luar kota atau ke luar negeri, sudah biasa dilakukan. Tanpa pretensi apapun alias ikhlas, tak mengutip keuntungan, apalagi kemudian dijadikan sebagai mata pencaharian baru.

Walau kadang urusan titip-menitip beli sesuatu ini, jika tak dilakukan dengan etika yang baik berpotensi menimbulkan salah paham dan berujung merusak pertemanan atau persaudaraan. 

Bisa jadi misalnya ketika barang titipan itu sudah dibeli, saat diserahkan eh si penitip ternyata lagi tak memegang uang, situasinya akan menjadi tak enak.

Mungkin berangkat dari perasaan "enak aja titip-titip, saya kan harus muterin kota tujuan untuk menemukan barang titipan, belum lagi uang yang harus saya keluarkan duluan serta potensi overload berat bagasi di bandara".

Maka urusan titip-menitip ini menjadi "jasa titipan" (jastip) dan bermotif ekonomi seperti saat ini. Ditambah dengan keberadaan media sosial yang memungkinkan setiap orang bisa berkomunikasi lebih mudah dan dengan skala yang lebih luas, jastip ini menjadi satu jenis usaha baru.

Berbeda dengan titip menitip yang berdasarkan pertemanan atau persaudaran, Jastip ini menetapkan fee tertentu atas jasa membelikan titipan barang si penitipnya.

Jastip ini awalnya populer hanya di kalangan traveller saja yang kebetulan hobi belanja dan penitip yang memiliki keinginan untuk mendapatkan barang tertentu, tapi karena faktor geografis yang jauh dengan keberadaan barang tersebut, jastip kemudian menjadi tren.

Pada akhirnya bagi-bagi pihak yang pandai membaca dan mencium aroma bisnis hal ini dijadikan sebuah bisnis yang spesifik, bisnis jastip.

Pebisnis jastip tak lagi menjadi sambilan, sekalian traveling ia membelikan barang titipan. Namun sudah memiliki jadwal dan strategi khusus agar jasanya ini bisa dikenal luas.

Bahkan ada yang melakukan "live shopping". Maksudnya, saat dia belanja dan menemukan barang-barang unik dia langsung menawarkan ke pengguna jasa. Dengan menggunakan platform media sosial.

Barang yang dijual dalam jastip ini beraneka ragam. Mulai dari makanan kering berupa snack, makanan khas daerah setempat, baju, tas, skincare hingga kosmetik sampai dengan sepatu.

Sebetulnya, sepanjang bukan barang yang diharamkan seperti narkoba, barang apapun dapat disediakan di jastip ini, tinggal niat penyedia jastip untuk mencarinya.

Bagi generasi milenial yang ingin tampil oke dengan outfit yang sedang hype mengggunakan merek tertentu yang biasanya tak ada di pasar dalam negeri, keberadaan jastip menjadi berkah buat mereka yang menginkan barang yang limited edition seperti sepatu misalnya.

Menjalani bisnis penyedia jastip ini terlihat mengasyikkan, bayangkan bisa jalan-jalan dan kemudian berbelanja, uh nikmat sekali.

Namun jangan salah kadang perlu modal yang lumayan besar untuk bisa membelanjakan orang. Seperti yang diungkapkan Dila seorang penyedia Jastip dari Bandung. 

Ulasan yang dilansir oleh Detik.com menyebutkan Dila mengaku pernah menghabiskan Rp.100 juta untuk belanja orang lain, saat ia membuka jastip ke Singapura dengan beragam barang titipan.

"Pernah yang terbesar itu saya belanjain sampai Rp 100 juta. (Barangnya) macam-macam, bukan cuma satu barang. Bagasi saja sampai hampir 60 sampai 80 kilogram kalau nggak salah. 4 koper-an kayanya waktu itu," kata Dila.

Berkaca pada hal tersebut, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, kemudian menetapkan aturan terkait penyedia jastip. Karena jika dibiarkan tanpa aturan bisa menggerus penerimaan negara di sektor bea dan cukai.

Menurut Direktur Jenderal Bea & Cukai, Heru Pambudi, pada dasarnya Jastip itu merupakan bentuk bisnis, sehingga dikategorikan ke dalam bentuk terkena cukai.

Jastip tak akan terkena cukai manakala jumlah barang yang dibawa tak melebihi  batas barang bawaan penumpang bebas cukai, sebesar maksimal US$ 500 atau setara dengan Rp.7 juta.

"Nah sementara kalau memang ini dibeli atau dibawa oleh penumpang juga sudah ada kavlingnya, sehingga bea cukai sebenarnya hanya sekadar mendudukan pada porsinya," ujar Heru, beberapa waktu lalu seperti yang dikutip dari liputan6.com

Aturan ini sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.04/2017 Tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut.

Nah, artinya setiap penyedia jastip dengan jumlah belanjaan "jumbo" harus mematuhi aturan ini jika tidak siap-siap dianggap sebagai penyelundupan.

Menurut Kasubdit Komunikasi Dan Publikasi DJBC, Deni Surjantoro. Bagi siapapun yang menjalankan bisnis jastip lebih baik mendeklarasikan bahwa barang yang mereka bawa untuk kepentingan bisnis.

"Hakikatnya jika barang tersebut akan diperdagangkan maka menggunakan skema PIBK dan berlaku ketentuan impor pada umumnya jadi meskipun di bawah US$ 500, jika barang tersebut bertujuan untuk didagangkan maka berlaku skema impor umum dengan PIBK," ujar Deni Jumat(04/10/19) kemarin, seperti yang dikutip dari Detik.com.

Memang asyik berbisnis Jastip, namun tetap harus diingat bahwa motivasi  titipnya pun sudah bergeser dari sekedar urusan sosial menjadi urusan bisnis yang menguntungkan secara ekonomi.

Terdapat aturan dan konsekuensi yang harus ditaati terkait hal ini. Kendati faktanya masih banyak pula penyedia jastip yang berusaha mengakali aturan tersebut.

Sumber: detik.com | liputan6.com | detik.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun