Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pajak Karbon Alat untuk Menuju Ekonomi Hijau

28 Oktober 2021   08:54 Diperbarui: 28 Oktober 2021   09:02 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPH) yang disahkan pada 7 Oktober 2021, diperkenalkan jenis pajak baru yang disebut Pajak Karbon.

Alasan Pemerintah mengenakan pajak jenis baru ini sebenarnya dalam rangka menuju implementasi green economy atau ekonomi hijau yang kini memang sedang "hype" secara global.

Karena dengan pajak karbon ini  seperti dilansir situs Kemenkeu.go.id diharapkan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca secara terstruktur, sistematis, masif dan berkelanjutan yang pada akhirnya bisa digunakan sebagai instrumen fiskal dalam mengendalikan perubahan iklim.

Selain itu tentu saja pajak tetap saja pajak apapun jenisnya ujungnya diharapkan akan memberi tambahan pendapatan negara untuk modal pembangunan.

Dalam UU HPH itu ditetapkan bahwa tarif pajak atau cukai yang akan dikenakan paling rendah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (Co2e) atau satuan yang setara.

Pajak karbon ini rencananya akan mulai diberlakukan pada 1 April 2022 

"Elemen pajak karbon yang baru mulai 1 April 2022 namun ikuti peta jalan di bidang karbon atau berhubungan dengan climate change,"  kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, seperti dilansir CNBCIndonesia.com, Kamis (07/10/21).

Namun demikian pajak karbon ini berbeda dengan pajak-pajak yang lain, sehingga implementasinya pun akan sangat berbeda.

Seperti biasa karena pajak karbon ini sesuatu yang baru, penerapannya menimbulkan pro dan kontra ditengah masyarakat.

Ada yang setuju tetapi banyak pula yang menentangnya. Mereka yang menentang berspekulasi, menduga-duga tentang apa dan bagaimana operasional  pajak karbon ini.

Pajak karbon disebutkan dalam praduga tersebut akan memajaki seluruh industri, yang berujung kenaikan harga barang dan mengurangi daya saing industri Indonesia.

Bahkan lucunya ada yang menyebutkan bahwa pajak karbon akan memajaki nafas penduduk Indonesia dan asap dari kegiatan masak di dapur-dapur rumah tangga.

Mungkin asumsinya karena pada saat bernafas dan memasak manusia mengeluarkan karbon dioksida.

Sebenarnya bagaimana dan apa sih Pajak Karbon itu?

Pemahaman tentang pajak karbon ini sangat penting agar implementasinya awal kuartal pertama tahun depan bisa berjalan mulus dan lancar.

Melansir sejumlah sumber bacaan, Pajak atau cukai karbon secara taksonomi dapat dikatakan sebagi turunan dari Pigouvian Tax.

Pigouvian tax adalah jenis pajak dari setiap aktivitas pasar yang menghasilkan eksternalitas atau efek negatif bagi masyarakat.

Salah satu contoh pajak jenis ini adalah cukai tembakau atau alkohol yang dikenakan lebih tinggi lantaran memiliki efek negatif bagi masyarakat.

Dengan kata lain, pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas emisi dan bahan bakar yang berasal dari fosil.

Pajak ini pada awalnya dirancang untuk mengurangi polusi melalui perubahan perilaku sebuah entitas terutama perusahaan-perusahaan manufaktur agar cara mereka berproduksi lebih ramah lingkungan, dan bagi individu bisalah mereka mulai mengurangi penggunaan bahan bakar berbasis fosil.

Untuk itulah, pajak karbon biasanya diterapkan bedasarkan 2 hal, pertama atas  kandungan karbon seperti pajak karbon yang dikenakan pada bahan bakar.

Jadi harga bensin atau bahan bakar lain untuk kebutuhan transportasi itu sudah dihitung eksternalitas negatifnya.

Makanya subjek pajak akan membayar pajak berdasarkan jenis dan jenis bahan bakar yang diproduksi atau dikonsumsi.

Nantinya pemerintah akan menghitung besaran pajak untuk bahan bakar berdasarkan jumlah emisi yang otomatis terlepas satu satuan energi bahan bakar digunakan.

Dengan demikian, bahan bakar dengan kandungan karbon ketika digunakan mengeluarkan emisi lebih banyak seperti batubara akan dikenakan tarif pajak lebih tinggi dibamdingkan dengan menggunakan gas alam yang emisinya lebih rendah.

Atau bisa juga pajak karbon dikenakan dengan acuan gram karbon dioksida per liter BBM, maka bisa jadi harga bensin premium menjadi lebih besar pajaknya dibandingkan jenis pertamax.

Kedua, Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)yang dilepaskan langsung atau biasa disebut direct emission. 

Nah, kalau yang ini besaran pajaknya akan diukur berdasarkan jumlah emisi GRK yang dilepaskan sesuai hasil pengukuran dan verifikasi yang standarnya telah ditetapkan.

Makanya, pemerintah menetapkan tarif pajak karbon dalam satuan Rp/gram karbon dioksida yang dilepaskan subjek pajak tersebut.

Dengan model ini, maka pembangkit listrik atau sebuah proses produksi yang menggunakan batubara akan membayar pajak karbon relatif tinggi.

Karena kita tahu emisi yang dilepaskan oleh proses pembakaran batubara menghasilkan karbon cukup tinggi.

Sementara jika pembangkit listrik atau suatu proses produksi yang menggunakan energi terbarukan tidak akan membayar pajak karbon sebab GRK-nya nol.

Dalam penerapannya nanti pajak karbon untuk jenis ini perhitungan dan besaran pajak yang akan dibayar subjek pajak akan dibayar diakhir tahun setelah mereka menghitung dan melaporkan melalui assesmen yang dilakukan oleh mereka sendiri.

Sementara untuk pajak karbon untuk jenis pertama pemerintah dapat langsung memungut pajak karbon berdasarkan jumlah bahan bakar yang dibeli dengn mengintegrasikannya ke dalam harga bahan bakar.

Tantangan yang harus dihadapi dan harus dipersiapkan para petugas pajak adalah mempersiapkan model pengukuran, pelaporan, dan verifikasi bagi subjek pajak.

Pajak karbon mungkin terlihat rumit , namun memang sudah waktunya kita bergerak ke arah itu karena ancaman climate change sudah semakin nyata.

Perilaku "ekonomi" harus sudah mengarah pada ekonomi hijau atau green economy yang pertumbuhannya harus selaras dengan tanggung jawab terhadap lingkungan dengan cara saling memperkuat dan saling mendukung untuk pembangunan sosial secara berkelanjutan.

Konsep green economy sendiri mencakup enam bidang utama yakni energi terbarukan, transportasi berkelanjutan, bangunan hijau, pengelolaan air dan pengelolaan tanah serta penanganan limbah.

Nah dengan pajak karbon arah pemerintah sejalan dengan konsep ekonomi hijau  yang kelak bakal menjadi dasar perhitungan maju tidaknya sebuah negara dan tentu saja akan memberikan keuntungan lebih bagi masyarakat pada umumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun