Makanya subjek pajak akan membayar pajak berdasarkan jenis dan jenis bahan bakar yang diproduksi atau dikonsumsi.
Nantinya pemerintah akan menghitung besaran pajak untuk bahan bakar berdasarkan jumlah emisi yang otomatis terlepas satu satuan energi bahan bakar digunakan.
Dengan demikian, bahan bakar dengan kandungan karbon ketika digunakan mengeluarkan emisi lebih banyak seperti batubara akan dikenakan tarif pajak lebih tinggi dibamdingkan dengan menggunakan gas alam yang emisinya lebih rendah.
Atau bisa juga pajak karbon dikenakan dengan acuan gram karbon dioksida per liter BBM, maka bisa jadi harga bensin premium menjadi lebih besar pajaknya dibandingkan jenis pertamax.
Kedua, Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)yang dilepaskan langsung atau biasa disebut direct emission.Â
Nah, kalau yang ini besaran pajaknya akan diukur berdasarkan jumlah emisi GRK yang dilepaskan sesuai hasil pengukuran dan verifikasi yang standarnya telah ditetapkan.
Makanya, pemerintah menetapkan tarif pajak karbon dalam satuan Rp/gram karbon dioksida yang dilepaskan subjek pajak tersebut.
Dengan model ini, maka pembangkit listrik atau sebuah proses produksi yang menggunakan batubara akan membayar pajak karbon relatif tinggi.
Karena kita tahu emisi yang dilepaskan oleh proses pembakaran batubara menghasilkan karbon cukup tinggi.
Sementara jika pembangkit listrik atau suatu proses produksi yang menggunakan energi terbarukan tidak akan membayar pajak karbon sebab GRK-nya nol.
Dalam penerapannya nanti pajak karbon untuk jenis ini perhitungan dan besaran pajak yang akan dibayar subjek pajak akan dibayar diakhir tahun setelah mereka menghitung dan melaporkan melalui assesmen yang dilakukan oleh mereka sendiri.