Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Digital Banking vs Bank Digital, dan Prospeknya di Masa Depan

25 Oktober 2021   13:25 Diperbarui: 25 Oktober 2021   13:28 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prospek Bank Digital diprediksi bakal moncer dalam beberapa tahun ke depan, pelakunya bakal bertambah riuh,jika mengacu pada struktur demografi di Indonesia pasarnya pun akan semakin dalam dan terbentang luas.

Sadar akan potensi tentu saja harus disertai dengan antisipasi terhadap kemungkinan masalah yang akan timbul di dalamnya. Masalah tersebut akan datang mulai dari awal pembentukannya, saat operasional dilakukan hingga cara pengawasannya.

Untuk itu lah kemudian, regulator dan pengawas industri keuangan Indonesia mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) nomor 12 tentang Bank Umum yang dalam Pasal IV mempertegas definisi bank digital, syarat pendirian bank, dan teknis operasionalnya.

Dalam aturan tersebut juga memperjelas terkait kepemilikan asing dalam industri perbankan di Tanah Air termasuk dalam hal kepemilikan asing di sebuah entitas bank digital.

Mengapa OJK tak melahirkan aturan khusus tentang bank digital alih-alih memasukannya ke dalam aturan yang mengatur tentang Bank Umum?

Dalam pandangan OJK, mengacu kepada Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, bahwa di Indonesia hanya mengenal 2 jenis bank, yakni Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.

Bank digital dianggap sebagai sebuah model bisnis baru, yang tidak mengubah bank secara kelembagaan. Bank tetap saja akan menjadi bank apapun model bisnisnya.

Jadi Bank digital adalah sebuah model bisnis baru dalam praktek kelembagaan perbankan. 

Tapi pertanyaannya kemudian apakah bank digital ini sama saja dengan digital banking seperti yang saat ini telah berjalan dan banyak dipraktekan oleh lembaga perbankan dan dirasakan oleh para nasabahnya?

Secara praksis sebenarnya era digitalisasi industri perbankan yang acap disebut digital banking sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir terutama setelah perkembangan teknologi internet menjadi kian canggih dan akses terhadapnya semakin mudah.

Menurut sejumlah sumber bacaan, digital banking persepsinya adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh sebuah institusi perbankan untuk melakukan otomatisasi proses transaksi dengan menggunakan kecanggihan teknologi melalui layanan berbasis Web yang mencakup Application Programing Interface (API).

Melalui API ini sebuah bank dapat menyediakan layanan transaksi menggunakan web yang memungkinan para nasabah bisa melakukan transaksi dari berbagai macam platform mulai dari komputer laptop/desktop, Anjungan Tunai Mandiri (ATM) hingga lewat smartphone.

Tak bisa dipungkiri, transformasi pelayanan perbankan dari manual ke digital banking ini membawa dunia perbankan ke alam lain yang mampu melompati jaman sehingga membuat operasional secara keseluruhan sebuah bank menjadi efektif dan efesien bagi nasabah dan bank itu sendiri.

Ketika efesiensi terjadi, maka akan terjadi penghematan biaya yang ujungnya bisa memberikan keuntungan lebih banyak bagi bank yang bersangkutan.

Sebuah laporan dari lembaga manajemen McKinsey memperkirakan bahwa bank dapat meningkatkan marjin usaha dalam bentuk tolok ukur keuangan berupa pendapatan sebelum pajak. Juga dilaporkan bagi bank yang ingin melakukan efisiensi dan penghematan ada sekitar 40 persen yang beralih ke perbankan digital.

Selain penghematan biaya yang berasal dari otomatisasi fungsi, menghilangkan redundansi, dan lain sebagainya. Ada manfaat lain berupa sinergi dalam hal akses ke data dan waktu respons yang lebih cepat.

Lebih lanjut, digital banking itu pada akhirnya dapat meningkatkan inklusi keuangan masyarakat terutama bagi mereka yang secara geografis tak terjangkau oleh kantor-kantor cabang sebuah bank dan para milenial dan generasi z yang secara alamiah memiliki kecenderungan technologi savvy.

Dengan sejumlah capaian digital banking tersebut dan semua proses transaksi berbasis digital itu sekarang sudah berjalan seluruh bank-bank besar Indonesia, untuk apalagi bank digital didirikan toh hampir semua fungsi penting dalam bertransaksi di sebuah bank digital sudah terjadi melalui teknologi  digital banking di bank umum konvensional?

Meskipun nama bank digital kian hype di indonesia, terbukti sesiapapun bank mengklaim dirinya sebagai sebuah bank digital maka klaim tersebut mampu mendorong harga sahamnya melambung tinggi.

Sampai tulisan ini dibuat, menurut catatan OJK ada  7 bank yang tengah mengajukan perizinan untuk menjadi bank digital, yakni BCA, Bank BRI Agro, Bank Neo Commerce, Bank Capital, Bank harda International, Bank QNB, dan Bank KEB Hana.

Selain mereka, ada sejumlah institusi perbankan yang telah mengklaim dirinya sebagai bank digital yang memang fully digital operational, antara lain Jenius BTPN, Wokee Bank Bukopin, Digibank DBS, TMRW UOB Indonesia, dan Jago dari Bank Jago.

Sebenarnya apa sih definisi bank digital ini?

Dalam POJK no 12/2021, Bank Digital atau fully digital bank ini adalah bank Berbadan Hukum Indonesia (BHI) yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha terutama melalui saluran elektonik tanpa kator fisik selain kantor pusat atau kantor fisik terbatas.

Nah, untuk mendirikann Bank Digital  OJK dalam aturan tersebut memberi sejumlah persyaratan diantaranya memiliki model bisnis dengan penggunaan teknologi yang inovatif dan aman dalam melayani kebutuhn nasabah.

Kedua, memiliki kemampuan untuk mengelola model bisnis perbankan yang prudent dan berkesinambungan. Ketiga memiliki manajemen risiko yang memadai.

Keempat, memenuhi aspek tata kelola termasuk pemenuhan direksi yang mempunyai kompetensi di bidang teknologi informasi dan kompetensi lain sesuai dengan ketentuan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan. 

Kelima, menjalankan perlindungan terhadap keamanan data nasabah. Terakhir memberikan upaya yang kontributif terhadap pengembangan ekositem keuangan digital dan inklusi keuangan.

Dan jangan lupa sediakan dana Rp. 10 triliun sebagai modal dasar bank digital yang sama sekali dan bukan berasal dari BHI yang sudah ada sebelumnya.

Apabila BHI yang sudah ada ingin mendirikan bank digital maka institusi tersebut hanya butuh modal dasar Rp. 3 triliun saja.

Meskipun di Indonesia tengah hype, bukan berarti pendirian bank digital akan berjalan mulus dan mampu menjalankan bisnisnya secara berkelanjutan.

Apalagi jika berkaca pada pengalaman yang terjadi secara global, tak banyak pula bank digital yang sukses.

Menurut riset yang dilakukan oleh Boston Consulting Group (BCG), dari 249 bank digital yang ada di seluruh dunia, hanya 13 bank yang sukses meraih keuntungan. sisanya ya jeblok.

Hal ini bisa terjadi lantaran ekosistem digital yang menunjang operasional bank digital gagal dihadirkan oleh kebanyakan para pelaku bisnis bank digital.

Rata-rata mereka yang berhasil membuat bank digital profitable adalah bank digital yang lahir dari rahim perusahaan digital yang sudah existing lantaran pada dasarnya sedari awal ekosistem digitalnya sudah terbentuk.

Misalnya Bank Jago-nya Gojek mereka memiliki ekosistem bisnis digital yang cukup lengkap mulai dari e-commerce, raid hailing dan pesan antar makanan apalagi setelah Gojek dan Tokopedia bergabung.

Sementara bagi bank digital yang lahir dari perbankan murni biasanya mereka akan tertatih-tatih untuk membuat bank digitalnya tersebut profitable.

Selain itu, tantangan bank digital untuk berkembang lantaran adanya irisan tebal antara produk-produk digital banking milik bank konvensional dengan bank digital, yang secara trust bank konvensional apalagi bank itu termasuk bank beraset besar agak sulit ditembus, kecuali bank digital mampu berinovasi sehingga melahirkan produk-produk perbankan yang baru, mampu mengembangkan artificial intelegence dan sangat mudah buat diakses.

Jika seluruh tantangan dalam pengembangan bank digital ini mampu ditaklukan prospeknya memang lumayan cerah, tetapi jika tak mampu berinovasi dan tak memiliki kemampuan untuk membangun ekosistem digitalnya dengan baik, ya siap-siap saja jeblok seperti banyak bank digital di negara lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun