Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Aktivisme Tagar dalam Kasus Pemerkosaan 3 Anak di Luwu Timur, Mencari Keadilan Lewat Media Sosial

8 Oktober 2021   13:10 Diperbarui: 8 Oktober 2021   13:33 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Twitter/@Projectm_org

Tagar #percumalaporpolisi bergaung begitu kencang di platform media sosial Twitter menjadi trending topik, hingga tulisan ini dibuat ada sekitar 32,4 ribu cuitan netizen menyematkan tagar tersebut.

Tagar ini berkaitan dengan respon polisi dalam kasus pemerkosaan 3 orang anak dibawah umur  yang dilakukan oleh ayah kandungnya yang kebetulan seorang pejabat berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) di Luwu Timur Sulawesi Selatan.

Adalah Project Multatuli lewat akun Twitter miliknya @Projectm_org yang pertama kali merilis utas beserta tulisan lengkap dengan tajuk "Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Laporkan Ke Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan."

Di awal cuitannya, pemilik akun tersebut memberi disclaimer bahwa utas dan artikel yang ditulisnya mengandung unsur-unsur eksplisit sehingga berpotensi mengganggu tekanan emosional dan mental pembacanya.

"PERINGATAN: Artikel ini mengandung konten eksplisit yang dapat memicu tekanan emosional dan mental bagi pembaca. Kami lebih menyarankan artikel ini dibaca oleh polisi Indonesia. #PercumaLaporPolisi " begitu ia mengawali utasnya.

Dan memang benar ketika saya mulai membaca artikel, kisahnya cukup menjijikan dan nyaris membuat saya mual apalagi mengingat saya memiliki anak perempuan juga.

Dalam benak saya, kok ada seorang ayah tega berbuat sejahat dan secabul itu pada anak kandungnya sendiri.

Di artikel itu penulis bernama Eko Rusdianto membeberkan cerita seorang ibu tunggal yang diberi nama samaran Lydia, meskipun telah bercerai dengan suaminya tetapi masih memberi keleluasaan kepadanya untuk ikut mengasuh ketiga putri hasil pernikahan mereka.

Namun, suatu ketika di bulan Oktober 2019 anak bungsunya berteriak mengadukan bahwa kakaknya yang sulung mengeluhkan rasa sakit pada vaginanya.

Setelah si anak sulung itu ditanya, anak itu mengaku bahwa dirinya telah dicabuli oleh ayah kandungnya, bukan hanya di area vagina tetapi juga lewat anusnya.

Demi mendengar cerita anaknya tersebut sang ibu kemudian membawa ketiga anaknya ke Kantor Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Luwu Timur, sayangnya seseorang bernama Firawati petugas dikantor tersebut seperti ditulis dalam artikel yang kini sudah di re-publish oleh berbagai media mainstream malah menghubungi terduga pelaku yang ternyata ia kenal, alih-alih memprioritaskan untuk memberikan pendampingan dan memberikan ruang aman bagi terduga korban.

Kemudian, dalam artikel itu diceritakan pula saat Lydia beserta ketiga anaknya melaporkan kejadian tersebut kepada pihak Polres Luwu Timur dengan harapan ia beserta ketiga anaknya mendapat perlindungan dan kasus ini bisa diproses sesuai hukum yang berlaku.

Sayang justru kemudian Polisi malah menghentikan penyelidikan kasus ini. Namun demikian si ibu ini tak lelah ia berusaha mencari keadilan, ia pergi ke Makasar yang waktu tempuhnya sekitar 12 jam berkendaraan mobil untuk bertemu dengan pihak LBH Makasar.

Segera setelah mendengar laporan tersebut pihak LBH Makasar berkirim surat kepada berbagai pihak agar kasus ini bisa diinvestigasi lagi, dan salah satu yang merespon surat dari LBH ini adalah Komnas Perempuan, untuk lebih lengkapnya kisah tragis ini bisa dibaca disini.

Dari sinilah kemudian kasus itu mulai mendapat perhatian masyarakat, setelah Project Multatuli mengangkat kisah tersebut di media sosial dan menjadi viral,, publik geram terhadap terduga pelaku dan mempertanyakan penghentian penyelidikan oleh pihak Kepolisian.

Maka kemudian munculah tagar #percumalaporpolisi, sebagian netizen mengecam tindakan terduga pelaku, sebagian besar lainnya menceritakan pengalaman pribadi mereka yang melaporkan berbagai kasus dugaan tindak pidana namun sama sekali tak mendapat respon apapun dari pihak kepolisian, malah mereka harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membuat laporan tersebut.

Seperti yang dicuitkan akun @Pradewitch 

"Waktu motor mantan pacar hilang di kosan, polisi bilang, "ini laporan keempat malam ini (dia lapor subuh bulan puasa). Ketika ngobrol sama temannya, dia dikasitau kalau saja bayar Rp500.000 ke polisi motor itu bisa balik."

Dan ada ribuan cuitan sejenis yang mempertanyakan kinerja kepolisian dalam menanggapi berbagai laporan warga, bahkan ada pula yang menyebutkan dalam cuitannya, jika lapor polisi"kehilangan kambing, bisa-bisa kerugiannya sebesar kehilangan sapi"

Intinya ribuan keluh kesah warganet +62 merasa kecewa dengan kinerja kepolisian yang mereka anggap tak bisa dipercayai lagi. Merespon riuh rendahnya warganet dalam menanggapi kasus pemerkosaan di Luwu timur ini pihak Mabes Polri mengkonfirmasi kebenaran kasus ini dan mengakui bahwa kasus tersebut sudah dihentikan penyelidikannya lantaran kurangnya barang bukti.

Namun kasus tersebut bisa saja dibuka kembali apabila ada alat bukti baru.

"Apabila kita bicara tentang penghentian penyelidikan, itu bukan berarti semua sudah final. Jika memang dalam proses berjalannya ada ditemukan bukti baru, maka tidak menutup kemungkinan penyidikannya akan dibuka kembali," kata Karopenmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono seperti dilansir Kompas.com, Kamis (07/10/21).

Jika kita amati secara seksama, belakangan aparat memang baru akan merespon secara cepat sebuah kasus apabila kasus tersebut sudah viral diberbagai media sosial, terutama untuk kasus-kasus yang berhubungan dengan pelecehan, pencabulan, dan pemerkosaan.

Kasus di Luwu Timur ini bukan kali pertama yang mendapat perlakuan seperti itu, kasus pelecehan seksual di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang sempat ramai beberapa waktu lalu, baru direspon pihak aparat Kepolisian setelah pengakuan korban viral di berbagagai laman media sosial.

Urutan kronologis berbagai kasus harus viral dulu baru di respon pihak berwenang, terlihat sebangun, awalnya korban sulit mengakses keadilan dengan berbagai alasan diantaranya seperti alasan kurangnya barang bukti, anjuran untuk menyelesaikan secara kekeluargaan, dan tidak terdapat penyelesaian yang memuaskan.

Lantaran kondisinya demikian, korban kemudian mencoba mencari keadilan dengan jalan lain, ia membagikan ceritanya di media sosial. Dalam beberapa kasus korban tak menceritakan langsung, tetapi melalui teman, keluarga, atau pendampingnya.

Sebenarnya mencari keadilan dengan membagikan cerita korban di media sosial itu bisa menjadi pedang bermata dua, bisa membuka jalan untuk direspon secara cepat oleh pihak berwenang, atau si korban menjadi korban selanjutnya dari UU ITE yang digunakan untuk balik menghantam korban karena dianggap mencemarkan nama baik terduga pelaku.

Inilah cerita pilu yang sering kita dengar jika kita spill the tea di media sosial.

Aktivisme tagar seperti #percumalaporpolisi yang terjadi dalam kasus di Luwu Timur tadi, adalah sebuah tindakan untuk mengkontruksi dukungan publik atau menunjukan perlawanan melalui media sosial, yang belakangan berkembang sebagai salah satu pendekatan yang kian populer.

Mengutip dari laman learn.g2.com,  Aktivisme tagar apapun motivasinya menjadi sebuah fenomena unik di abad 21 ini, kebanyakan dari tagar itu dijadikan sebagai alat pendorong bagi perubahan tatanan sosial dan politik yang tengah berlangsung. 

Jangan salah aktivisme tagar ini, bisa memberikan perubahan di dunia nyata tak hanya riuh di media sosial. Tetapi efektivitasnya tergantung pada kemurnian tujuan dan pihak-pihak yang mengusung tagar tersebut. Salah satu contohnya, mungkin kita masih ingat adalah tagar #Blacklivesmatter yang sangat mendunia dan memberi dampak sosial dan politik yang luas.

Tetapi banyak pula aktivisme tagar yang tak memiliki efek sama sekali, hal itu bisa terjadi lantaran tagar itu terbentuk dari bubble yang difabrikasi oleh kelompok tertentu untuk menyudutkan pihak lain, tagar seperti ini biasanya berhubungan dengan masalah politik.

Namun, jika aktivisme tagar tersebut datang dari sebuah keresahan bersama dan murni sebuah perjuangan sosial sangat berpotensi merubah tatanan status quo yang sedang berlangsung.

Aktivisme tagar ini secara praksis berbeda dengan aktivisme pada umumnya, aktivisme tagar tidak memerlukan tindakan apapun dari penggunanya selain berbagi cerita di media sosial, re-tweet atau re-publish, atau bisa juga meninggalkan komentar dan menyukai unggahan di media sosial.

Hebatnya lagi aktivisme tagar ini memberikan kesempatan pada orang biasa yang tak memiliki akses ke bentuk-bentuk kekuasan tradisional, memiliki kesempatan untuk menciptakan narasi baru maupun narasi tandingan yang politis sekaligus bisa menarik sekutu untuk membuat perbedaan.

Namun demikian, meski membuka peluang bagi siapapun untuk memiliki narasi sesuai harapannya, aktivisme tagar khususnya yang ada di plaform media sosial Twitter memiliki logika mesin atau alghoritma sendiri.

Dalam beberapa kasus, tokoh publik seperti pejabat publik, tokoh politik, selebritis, influencer atau artis memiliki peranan cukup penting dalam aktivisme tagar ini memalui jejaring mereka di dunia maya.

Dalam isu kekerasan seksual seperti yang terjadi di Luwu Timur tadi, aktivisme tagar menjadi menarik karena memberi ruang bagi perbincangan isu yang selama ini terkubur dalam sekat-sekat ruang privat.

Selain memberi peluang untuk mengkontruksi dan menjadi medium untuk mengorganisasi dan menggalang dukungan dari publik, aktivisme tagar juga bisa menjadi sarana untuk membangunkan kesadaran publik melalui berbagai diskursus yang muncul dalam tagar tersebut dan menyadari betapa pentingnya pemahaman urusan kekerasan seksual ini.

Hal itu tercermin secara nyata dalam tagar #Percumalaporpolisi, yang menjadi medium bagi korban untuk bersuara dan pada akhirnya bisa memperoleh keadilan yang selama ini tersembunyi dalam pekatnya gulita penyelidikan polisi.

Sekaligus memberikan fakta bagi pemerintah dan masyarakat luas bahwa kondisi yang ada terkait Kepolisian itu tidak sedang baik-baik saja.

Apabila kita telusuri puluhan ribu cuitan warganet yang ada dalam aktivisme tagar tersebut 99 persen menyatakan ketidakpuasan terhadap kinerja polisi terutama dalam hal merespon laporan warga.

Mungkin ini terdengar klise, tapi momen ini bisa dijadikan waktu yang tepat bagi aparat hukum di Indonesia terutama Kepolisian untuk berbenah khususnya dalam penanganan kasus-kasus pelecehan atau kekerasan seksual yang terjadi.

Alangkah lebih baiknya andai Polri bisa menjabarkan secara transparan duduk perkara kasus pemerkosaan 3 anak oleh ayahnya ini dari awal hingga kasus ini dinyatakan ditutup karena kurang bukti.

Karena jika terkesan ditutup-tutupi kepercayaan masyarakat pada Kepolisian bisa kian tergerus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun