Pasal 1 angka 22 Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Bunyi dari kedua UU ini identik.
"Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai."
Dan terakhir dalam Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan yang dimaksud dengan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara adalahÂ
"kerugian yang telah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk"
Dan indikasi awal temuan BPK terkait hajatan formula E yang digagas Anies ini sudah ada dan tersebar luas
Seperti dilansir situs resmi lembaga audit negara BPK.go.id, telah ditemukan oleh auditor BPK wilayah DKI Jakarta.
Bahwa Pemprov DKI telah melakukan pembayaran senilai 53 juta Poundsterling atau setara Rp.983,31 milyar kepada pihak Formula E Organization (FEO).
Dengan perincian, untuk comitment fee penyelenggaraan pada tahun 2019 telah dibayarkan 20 juta Poundsterling atau Rp. 360 milyar.
Fee untuk tahun penyelenggaraan 2020 telah dibayarkan sebesar 11 juta Poundsterling atau Rp. 200,31 milyar dan Bank Garansi sebesar senilai 22 juta Poundsterling atau Rp.423 milyar.
Jika mengacu pada surat Dispora DKI tadi, commitment fee 2019-2020 yang telah dibayarkan sebesar Rp.360 plus Rp. 200,31 menjadi Rp.560,31 milyar tak akan bisa ditarik kembali meskipun kita tahu semua bahwa tak ada penyelenggaraan formula E pada tahun tersebut, tetapi tetap fee harus dibayarkan kepada FEO.
Artinya kerugian negara sangat potensial terealisasi untuk kemudian menjadi faktual. Kondisi ini besar kemungkinan akan membuat pihak-pihak yang terlibat dalam perhelatan balap mobil listrik formula E termasuk Gubernur Anies Baswedan dianggap merugikan uang negara dan terjerat UU Tindak Pidana KorupsiÂ