Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena "Cancel Culture" dalam Kasus Saipul Jamil, Positif dan Negatifnya

7 September 2021   11:19 Diperbarui: 8 September 2021   13:28 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Andai saja Saipul Jamil pesakitan atas kasus pencabulan saat bebas dari Lapas Cipinang tak disambut bak pahlawan yang baru pulang dari tugas mengharumkan nama bangsa dan negara.

Andai saja narasi yang dibangun oleh Saipul Jamil sesaat setelah bebas tak mengarahkan menjadi sekedar kesalahpahaman.

Mungkin ini mungkin loh yah gelombang penolakan terhadap dirinya untuk kembali hadir di televisi nasional tak akan terjadi.

Padahal baru sehari menghirup udara bebas, Ipul begitu biasanya ia dipanggil sudah ramai job, Transmedia yang menaungi Trans TV dan Trans 7 mendapuk Ipul menjadi bintang tamu di 2 program acara TV milik si Anak Singkong, Chairul Tanjung ini.

Trans TV lewat program "Becanda Tapi Santai" (BTS) dan program acara  "Kopi Viral" di Trans 7 mendaulat Ipul sebagai bintang tamu.

Tak dinyana penampilan Ipul di 2 acara tersebut memperluas penolakan terhadap dirinya, yang besar kemungkinan bakal berdampak juga terhadap stasiun TV yang bersangkutan.

Caci maki, citra buruk, dan boikot massal mulai disuarakan publik menerjang kelompok media milik Transcorp ini.

Meski Ipul sudah selesai menjalani hukuman, tetapi Transmedia dianggap tidak sensitif dan tak berpihak pada trauma korban pelecehan Ipul yang saat itu terjadi masih di bawah umur.

Kemunculan kembali Ipul pelaku pencabulan sesaat setelah menyelesaikan hukumannya di televisi dianggap memberikan indikasi pemakluman terhadap pedofilia.

Apalagi dalam penampilannya tersebut tim kreatif mendadani Ipul dengan baju tahanan terkesan meremehkan dampak kasus yang membelitnya.

Publik yang "marah" memanifestasikan kemarahannya tersebut dengan cara masing-masing.

Ada yang menggelar petisi penolakan untuk memberi panggung pada Ipul di televisi nasional dan channel Youtube lewat Change.Org yang hingga hari ini telah ditandatangai oleh lebih dari 400 ribu orang.

Visinema Picture dan Sutradara Angga Sasongko menghentikan negosiasi akuisisi film milik mereka Keluarga Cemara dan kartun anak Nussa dengan pihak Transmedia sebagai bentuk penolakan hadirnya Ipul di grup media ini.

Netizen juga mulai merangsek mengarah untuk melakukan pemboikotan pada produk-produk yang saat Ipul tampil di televisi menjadi sponsor di program acara tersebut.

List sponsornya bahkan sudah tersebar di media sosial. 

Tak cukup sampai disitu amarah netizen sepertinya sudah tak terbendung, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)  yang juga tengah bergelut dengan kasus pelecehan seksual dan perundungan pegawainya dihantam oleh mereka.

Lembaga ini tak hanya disindir tapi dituduh telah melakukan pembiaran terhadap tayangan yang menampilkan pelaku pencabulan, seperti membiarkan kejadian pelecehan seksual dikantornya selama hampir satu dekade.

Pihak Komisi Perlindungan Anak (KPAI) pun unjuk bicara, melalui salah satu Komisonernya Retno Listyarty mereka menilai penampilan kembali Ipul di hadapan publik akan berdampak buruk bagi masyarakat terutama anak-anak.

Tekanan besar publik dari segala sudut itu akhirnya membuahkan hasil, hari Senin (06/09/21) kemarin KPI secara resmi merilis himbauan (perintah) kepada seluruh stasiun televisi nasional untuk tidak lagi melakukan amplifikasi dan glorifikasi kebebasan Ipul dalam setiap program acaranya.

"Kami berharap seluruh lembaga penyiaran memahami sensitivitas dan etika kepatutan publik terhadap kasus yang telah menimpa yang bersangkutan dan sekaligus tidak membuka kembali trauma yang dialami korban," tegas Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo seperti dilansir situs KPI.go.id.Senin (06/09/21)

Intinya stasiun televisi mungkin dalam beberapa waktu ke depan tak selayaknya memberi panggung bagi pedangdut Saipul Jamil.

Sebelumnya pihak Transmedia selaku induk perusahaan yang menaungi  Trans TV dan Trans 7, telah merilis permohonan maafnya karena telah menampilkan Ipul dalam 2 program acaranya.

"Kami mohon maaf atas tayangan tersebut. Hal ini menjadi perhatian khusus dan telah melakukan evaluasi menyeluruh untuk menjadi pembelajaran dan perbaikan ke depannya," tulis akun Instagram resmi Trans TV seperti dilansir Kompas.Com.

Pun demikian dengan pihak pendukung program acara BTS dan Kopi Viral mereka meminta maaf dalam akun resminya masing-masing.

Fenomena efektifitas gerakan publik seperti ini biasanya disebut " Cancel Culture"

Apa sih Cancel Culture ini?

Jika kita merujuk pada kamus Meriam Webster cancel culture  adalah sebuah upaya publik untuk tidak lagi memberikan dukungan terhadap seseorang.

Seseorang ini biasa mereka yang berada di level high profile, seperti pejabat, tokoh atau kebanyakan para artis dan selebritis yang berkelakuan buruk, meskipun tak menutup kemungkinan masyarakat biasa pun bisa terkena aksi ini.

Fenomena cancel culture ini menurut sejumlah sumber bacaan yang saya dapatkan serupa dengan pemboikotan, tetapi biasanya ajakan untuk melakukan pemboikotan ini menggunakan medium media sosial.

Nah, kasus penolakan terhadap Saipul Jamil ini merupakan salah satu praktek yang nyaris sempurna dari fenomena cancel culture.

Tekanan publik yang masif menghantam dari segala penjuru akhirnya berhasil  men- take down Saipul Jamil dari segala penampilannya dihadapan publik melalui dunia elektronik dan digital.

Menurut situs Voice of America, Fenomena ini sebenarnya sudah lama terjadi di Amerika Serikat. Mungkin kita masih ingat kasus pelecehan seksual terhadap puluhan aktris Hollywood oleh produsen kondang yang sangat berkuasa Harvey Weinstein.

Begitu kasus pelecehan seksual ini naik kepermukaan, warganet khususnya yang berasal dari AS ramai-ramai melakukan aksi "cancel" terhadap Weinstein hasilnya ia kini tersingkir dari dunia perfilman Hollywood dan harus berakhir dengan vonis 23 tahun penjara atas kasus multiple pelecehan seksual tersebut.

Padahal Harvey Weinstein itu orang yang sangat berkuasa dan pengaruhnya sangat luas termasuk pada para politisi dan senator di AS, jangan tanya kekayaannya beuh tajir melintir deh.

Tapi dengan aksi cancel culture publik yang sangat luas, Weinstein berhasil di "take down". Apalagi hanya "sekelas" Saipul Jamil.

Meskipun demikian menurut sejumlah pandit dan pemerhati masalah sosial, fenomena cancel culture ini hanyalah merupakan fenomena kaum urban yang elitis lantaran mereka memiliki literasi digital yang baik.

Efektifitasnya tergantung pada banyak hal, diantaranya pada "kasus" yang mendera obyek cancel culture tersebut. Jika kasusnya terbukti secara common sense mencederai kepentingan masyarakat luas seperti pelecehan seksual misalnya besar kemungkinan bakal efektif.

Selain itu, kemampuan individu atau kelompok masyarakat untuk mengorganisir proses canceling juga menjadi salah satu hal utama yang menjadi dasar keberhasilan cancel culture ini.

Namun demikian jangan lupa menurut salah satu pandit ilmu sosial dari Universitas Indonesia Devie Rachmawati, fenomena cancel culture ini memiliki dampak negatif apabila yang menjadi obyeknya adalah masyarakat biasa yang memiliki sumber terbatas.

"Ketika cancel culture menyerang selebritas, maka mereka masih memiliki karya, yang berpeluang untuk tetap dikonsumsi dan dinilai positif oleh publik lainnya. Sedangkan bagi kalangan biasa, serangan cancel culture akan berpotensi menutup ruang aktualisasi hingga potensi ekonomi." ujar Devie seperti dilansir VOAIndonesia.

Jadi sebenarnya cancel culture ini seperti pedang bermata dua, yang juga berpotensi merugikan masyarakat, untuk itulah dibutuhkan peningkatan literasi digital masyarakat agar mereka mampu memilah secara jernih dan tepat mana yang harus di cancel mana yang harus disikapi secara lebih bijak.

Kembali ke masalah Saipul Jamil tadi hingga titik tertentu cancel culture terhadapnya saat ini memang dibutuhkan, tetapi mungkin dalam jangka waktu tertentu saja sepanjang ia kemudian menunjukan sikap yang lebih baik dan bijak.

Walaupun bagaimana, rasanya kita kok seperti orang yang kejam sekali jika sama sekali menutup kemungkinan bagi Ipul untuk kembali tampil sesuai kapabilitasnya sebagai pedangdut.

Padahal kita tahu dari situlah ia bisa memenuhi penghidupannya. Meskipun tetap saja ia harus belajar banyak dari kasus yang menerpanya saat ini, udah deh hidup biasa aja ga usah lebay.

Namun, tetap saja sikap ini bukan berarti membenarkan laku tak senonoh Ipul terhadap korbannya yang saat pencabulan itu dilakukan masih dibawah umur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun