Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sandiaga Uno di Kabinet Jokowi, di Atas Berpelukan tapi Polarisasi di Akar Rumput tak Surut Jua

23 Desember 2020   07:46 Diperbarui: 23 Desember 2020   08:08 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Reshuffle Kabinet Indonesia Maju besutan Jokowi-Maaruf kali ini cukup menarik dicermati, mungkin baru di Indonesia terjadi mantan rival dalam pemilihan presiden kedua capres dan cawapres-nya menjadi anggota kabinet pemenang pilpres.

Ya, masuknya mantan Cawapres Sandiaga Salahudin Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ke dalam kabinet Jokowi, melengkapi masuknya mantan "Pasangan 02" ke dalam kabinet mantan rivalnya. 

Setelah mantan Capres dalam Pilpres 2019 lalu Prabowo Subianto pada kesempatan pertama menduduki jabatan dalam kabinet sebagai Menteri Pertahanan.

Kondisi ini membuat Politisi Nasdem Irma Suryani Chaniago yang pada Pilpres 2019 lalu berada di kubu "01" dengan sinis berpendapat

"Ada nama Sandiaga Uno ikut masuk, artinya percuma kemarin saya dan teman-teman koalisi berdarah-darah di Pilpres," ujar Irma seperti dilansir Tribunnews.com Selasa (22/12/20).

Bisa dipahami sih kesinisan Irma ini, tentunya kita masih ingat benar bagaimana sengitnya Pilpres 2019 lalu, masyarakat Indonesia benar-benar terbelah saat itu , antar saudara dan tetangga tak saling sapa lantaran berbeda pilihan politik dan residunya hingga kini masih sangat terasa.

Sementara di akar rumput sebutan cebong dan kampret yang kini telah bersalin nama menjadi kadrun masih beredar luas terutama di media sosial, yang artinya sisa-sisa polarisasi masih ada, padahal pada level elite sudah bepelukan bak Teletubbies.

Namun bagi saya keputusan Jokowi mengajak kedua rivalnya ke dalam kabinetnya, dan rivalnya bersedia menerima pinangan itu sebuah keputusan yang hebat.

Sangat sedikit orang dengan ego kekuasaannya mampu melakukan itu, Prabowo dan Sandi pun saya rasa tak perlu-perlu amat menduduki jabatan di pemerintahan Jokowi, toh keduanya bisa hidup sangat nyaman walaupun tak menjadi menteri-nya Jokowi.

Memang  saya tak tahu persis apa yang melatar belakangi keputusan tersebut, tapi apapun itu saya menaruh hormat pada mereka.

Mungkin saja jika saat itu Prabowo tak menyatakan bergabung dengan pemerintah Jokowi dan memutuskan berada di seberang pemerintah residu polarisasi dimasyarakat akan lebih tajam lagi.

Sisa-sisa polarisasi seperti saat ini memang sepertinya sengaja dipelihara untuk kepentingan politik sebagian pihak.

Jika dicermati polanya ya begitu-begitu saja serupa dengan saat pilpres berlangsung. Menggunakan politik identitas sebagai amunisinya.

Dalam bidang ekonomi yang dipermasalahkan pun bolak -balik masalah utang negara dan TKA asal China, duh enggak ada topik lain.apa?

Mungkin yang bertambah hanya masalah penanganan Covid-19, karena memang saat Pilpres 2019 isu ini belum ada.

Lantas individu-individunya pun ya itu-itu juga, kita tahu lah siapa-siapa saja mereka ini,  kelompok gagal move-on. 

Tak ada yang salah sebenarnya dengan memilih menjadi oposisi, tapi mbok yah kritik yang dilakukan harus dalam koridor konstruktif atas dasar kemasalahatan.

Bukan atas dasar kebencian dan dendam kesumat beribu karat yang ujungnya menjadi "Salawi". Di mata mereke semua kebijakan Pemerintah Jokowi tak pernah ada yang benar,  selalu salah. 

Ayolah Jadi lah pendukung dan oposisi yang rasional. Ketika kebijakan pemerintah dianggap tak berpihak pada rakyat, kritik, ingat kan mereka dan beri saran-saran konstruktif. Jika yang terjadi sebaliknya layangkanlah apresiasi dan dukungan.

Contoh terbaru adalah masalah Vaksinasi Covid-19 lah, ketika langkah pemerintah membuat sebagian pelaksanaan vaksinasi Covid-19 harus berbayar dikritik beramai-ramai.

Lantas kebijakan itu dianulir oleh pemerintah  dengan mengratiskan vaksinasi bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali, langkah yang bagus dan sangat berpihak pada rakyat.

Namun apa yang terjadi boro-boro diapresiasi malah dicari lagi celah lain untuk tetap dalam mode "menyalahkan".

Ada banyak lagi lah contoh yang lain,kebijakan yang benar saja bisa disalahkan apa lagi kebijakan yang benar-benar salah, bisa habis disikat digoreng sedemikian rupa.

Saya merasa tak perlu juga mengajak bersatu, mereka yang memang tak mau bersatu, sejuta tulisan, bermilyar jargon pun menjadi percuma ketika memang sejak dalam pikiran pun polarisasi itu sudah terbentuk.

Terlepas dari itu semua, semoga saja hasil reshuffle kabinet kali bisa memberi kebaikan bagi kita semua dan kasus korupsi seperti yang dilakukan 2 eks menteri korup itu tak terjadi lagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun