"Iya."
Arni terdiam sejenak. "Kayaknya tidak bisa. Penampilan kamu terlihat tua, jadi jauh jaraknya dari saya. Mending kita bersaudara aja."
Aku menghela nafas panjang, tidak ingin menanggapinya. Lekas saja, aku habiskan makanan dan minum dengan tenang. Kedua temannya, tampak bingung dengan keadaan yang dingin kembali.Â
"Seriuskah Arni kepadaku? penilaiannya hanya sebatas penampilan? Apa ia belum berani melangkah ke pelaminan? sepertinya, dia bukan wanita sehatiku, Bahri." Ucapku dalam hati. Batinku bergejolak dengan berbagai pertanyaan.
"Kita baru kali ini pergi bersama. Lebih baik jalani aja dulu, saling mengenal satu sama lain." Ujar Arni yang berusaha mencairkan suasana. "Lagipula, baru aja kamu ungkapkan cinta,"
"Cinta kalau hanya sebatas di lidah, aku bisa katakan seribu kali pada siapapun. Tapi bisakah cinta menghargai setelah dinyatakan?"
Ketiga wanita itu diam tak bergeming. Arni tampak linglung ketika mata kami bertemu. Lekas aku mengalihkan pamdangan.
"Maksud kamu?"
"Memang usia tidak memperlihatkan seseorang telah matang. Kalau kamu mengerti, maksud pernyataan aku tadi, berarti kamu dewasa."
Arni terlihat sedih.
Aku bangkit berdiri. "Oh iya, terima kasih atas kebersamaan di siang ini. Kita memang sepantasnya menjadi saudara saja." Aku sangat berharap agar ia dapat menahanku dan menganulir perkataannya untuk membuat hatiku tenang.