Mohon tunggu...
Femas Anggit Wahyu Nugroho
Femas Anggit Wahyu Nugroho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hamba Allah yang ditetapkan tinggal di bumi sejak 2003 dan suka nasi goreng.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tuhan Telah Mati: Menyelami Alam Filsafat Eksistensialisme Nietzsche

6 November 2023   00:03 Diperbarui: 6 November 2023   01:19 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berkebalikan dengan moralitas tuas, moralitas budak adalah ketika seseorang tidak memiliki kedaulatan atas dirinya sendiri. Ia tidak bebas dalam bertindak, ia diatur, tidak mandiri dan nasibnya digantungkan pada orang lain (tergantung perintah tuannya. Moralitas budak menunjukkan ketidakberdayaan. Dalam moralitas budak, yang disebut bermoral adalah lemah lembut, mengalah, pasrah, simpati, tanpa pamrih, sebagaimana kasta mereka.

Secara umum, manusia terbagi dalam dua moralitas tersebut. Dan menurut Nietzsche, kebanyakan manusia moralitasnya adalah moralitas budak. Kebanyakan manusia tidak mandiri, penakut, dan pengecut. Mereka tidak punya inisiatif dan keberanian dalam bertindak. Mereka terpenjara oleh moralitas dan nilai yang ada yang dianggap absolut dan mutlak. Yang dianggap baik dan buruk tidak pernah berasal dari diri sendiri melainkan dari luar diri. Dalam moralitas tuan, segala yang baik dan buruk berasal dari dalam diri sendiri. Atas dasar pemikiran, pertimbangan dan analisis sendiri.

Dalam hidup, dua moralitas ini saling ribut satu sama lain. Bagi yang bermoralitas budak, moralitas tuan dianggap sebagai sebuah arogansi dan kejahatan. Bagi moralitas tuan, moralitas budak adalah moralitas yang buruk, moralitas orang-orang lemah.

Oleh Nietzsche, anggapan moralitas budak terhadap moralitas tuan sebagai sesuatu yang jahat dan tidak baik sebenarnya adalah ungkapan dari rasa inferiornya. Mereka memberikan sebuah reaksi atas rasa inferior tersebut. Mereka merasa inferior karena tidak bisa seperti moralitas tuan.

Contoh gambarannya, kita sering kali menganggap bahwa budaya barat itu jelek, jahat, dan sebagainya. Hal ini sebenarnya muncul karena rasa inferior kita terhadap mereka. Kita merasa lebih rendah dibanding mereka. Kita memiliki rasa iri yang tersembunyi karena tidak bisa mencapai kemajuan seperti mereka. Alhasil rasa tersebut disalurkan melalui anggapan bahwa budaya mereka itu jelek dan tidak sesuai norma.

Bisa dilihat hal nyata dari rasa inferior ini adalah ketika ada bule di Bali sedang bersantai di pantai misalnya. Anda hendak mengajak foto bule tersebut. Kiranya apa yang akan Anda lakukan? Tentulah berbicara dengan bule tersebut dengan bahasa inggris. Pernahkah kalian terpikir, mereka singgah di negara kita, Indonesia. Lalu, mengapa harus kita yang susah payah bercakap dengan mereka menggunakan bahasa inggris? Kenapa tidak mereka kita paksa saja untuk paham dengan bahasa kita, bahasa Indonesia? Tentu, bisa di cek lebih mendalam ke diri sendiri. Di sana ada rasa inferioritas. Merasa rendah dan menganggap bahwa bahasa Inggris lebih tinggi kastanya karena dianggap bahasa internasional.

Pembalikan Nilai 

Kedatangan orang-orang besar dan agama oleh Nietzsche justru dianggap mengakibatkan adanya transvaluasi nilai (pembalikan nilai). Apa yang sebenarnya baik justru dianggap buruk dan apa yang sebenarnya buruk justru dianggap baik. Mentalitas seperti kalah dan rendah diri semula adalah buruk. Karena ada transvaluasi, mentalitas tersebut mengalami pembalikan nilai. Kalah ditransvaluasi menjadi mengalah, sehingga nilainya berbalik menjadi baik. Demikian pula rendah diri, ditransvaluasi menjadi rendah hati supanya nilainya berbalik menjadi baik. Sedangkan mentalitas seperti berani, superior, maju yang awalnya hal tersebut adalah baik justru ditransvaluasi menjadi buruk. Dibalikkan nilainya menjadi arogan dan jahat.

Transvaluasi nilai tersebut bagi Nietzsche merupakan semacam balas dendam imajiner. Balas dendam dari moralitas budak yang merasa inferior dan tidak bisa menyamai moralitas tuan. Sehingga, dilakukanlah pembalikan agar seolah-olah moralitas budak berada di tempat tinggi sebagai moralitas yang baik. Pembalikan nilai semacam ini memang sangat mungkin karena sebagaimana asumsi awal, segala nilai dan moralitas sifatnya adalah perspektif, tidak mutlak, dan tidak absolut.

Lantas, mengapa transvaluasi nilai semacam ini dapat bertahan? Menurut Nietzsche hal ini dikarenakan dunia sosial, budaya, dan bahkan agama secara terus menyediakan narasi-narasi untuk melanggengkan transvaluasi nilai ini. Diciptakan narasi yang memuat keutamaan dan mengagung-agungkan dari moralitas budak. Narasi ini sebenarnya bukan berasal secara langsung dari ayat-ayat suci dalam agama, melainkan dari penafsiran para pemukanya yang justru secara tidak disadari melanggengkan pembalikan nilai, melanggengkan moralitas. Narasi-narasi seperti: "tenang saja, tetap ikhlas dan pasrah, ini hanya kehidupan di dunia" mengakibatkan manusia menjadi lemah, pemalas, dan tidak mau maju. Alhasil, manusia yang terdoktrin bahwa moralitas tersebut mutlak dan absolut, ia akan benar-benar terpenjara dan kelanggengan pembalikan nilai semakin menjadi-jadi.

Kehendak untuk Berkuasa 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun