Mohon tunggu...
Femas Anggit Wahyu Nugroho
Femas Anggit Wahyu Nugroho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hamba Allah yang ditetapkan tinggal di bumi sejak 2003 dan suka nasi goreng.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tuhan Telah Mati: Menyelami Alam Filsafat Eksistensialisme Nietzsche

6 November 2023   00:03 Diperbarui: 6 November 2023   01:19 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bagi Nietzsche, sistem baik buruk tersebut sebenarnya adalah ciptaan manusia itu sendiri. Dari orang-orang besar katakanlah seperti Plato, Locke, Hegel, Buddha, Jefferson, dan juga Jesus (dan para Nabi lain juga termasuk di dalamnya?). Oleh masyarakat, dipercaya bahwa sistem baik buruk tersebut merupakan sesuatu yang ada secara mutlak dan orang-orang besar tadilah yang menemukan atau juga dikatakan bahwa tatanan nilai tersebut berasal dari Tuhan. Padahal, menurut Nietzsche orang-orang tersebut justru tidak menemukan, melainkan menciptakan. Segala nilai dan sistem baik buruk adalah bikinan mereka (dari pikiran mereka sendiri) dan sifatnya adalah perspektif. Tentunya, dengan pengaruh latar belakang dari si pencipta sistem nilai dan moralitas tersebut (orang-orang besar tadi).

Sebagai bukti bahwa sistem nilai bukanlah sesuatu yang ada secara mutlak adalah perbedaan tata nilai antara masyarakat di suatu tempat dengan tempat lain. Katakanlah masyarakat di tempat A memiliki tata nilai bahwa dikatakan sopan ketika bicara dengan orang yang lebih tua harus menundukkan pandangan, sedangkan di tempat B misalnya, justru dikatakan sopan ketika bicara dengan orang yang lebih tua saling menatap mata. Jika memang tatanan nilai dan moralitas adalah sesuatu yang keberadaannya mutlak, bukankah seharusnya isi daripada tatanan dan moralitas tersebut sama di setiap masyarakat?

Sesuatu yang fatal adalah masyarakat menganggap nilai dan moralitas tersebut bersifat absolut. Moralitas terutama moralitas agama tidak lagi dipertanyakan. Akibatnya, orang-orang yang memiliki potensi besar untuk memajukan peradaban yang pemberani, mandiri, dan inovator terpenjara oleh nilai dan moralitas tersebut. Mereka tidak memiliki kebebasan dalam berbuat dan berkreasi. Orang-orang berpotensi tersebut dibayangi segala konsekuensi apabila tidak sesuai dengan moralitas yang ada. Katakanlah konsekuensi seperti yang banyak didengung-dengungkan oleh agama: dosa besar dan akan dimasukkan neraka (dibakar, disiksa, dan segala bentuk sadisme lain).

Bagi Nietzsche dengan adanya hal tersebut, bukannya peradaban akan maju, justru peradaban akan mengalami kemunduran. Sebagai contoh ada pada peradaban Romawi sebelum dan sesudah masuknya Kristen. Sebelum Kristen masuk, Romawi sedemikian dahsyatnya hingga menguasai hampir dunia di bawah kepemimpinan Alexander The Great. Setelah Kristen masuk, peradaban Romawi mengalami kemunduran. Hal ini karena moralitas agama memang mengajarkan bahwa harus saling mengasihi, yang kuat melindungi yang lemah.

Semua horizon moral (termasuk agama) bagi Nietzsche adalah kreasi manusia itu sendiri. Tidak ada kebenaran di luar manusia dan masyarakat. Karena berhubungan dengan manusia, maka moralitas sifatnya hanya perspektif dan tidak absolut. Karena perspektif, maka hal tersebut adalah pilihan. Kita bisa memilih untuk ikut atau tidak ikut tetapi membuat nilai dan moralitas sendiri.  

Genealogi Moral

Anggapan bahwa moralitas bukanlah sesuatu yang mutlak dan absolut memunculkan teori yang disebut sebagai genealogi moral. Genealogi moral adalah upaya untuk menyingkap motif atau sesuatu hal lain di sebalik moralitas. Penyingkapan kedok, nafsu, kebutuhan, ketakutan, dan harapan yang ada di balik moralitas. Mudahnya, mencari sesuatu yang melatarbelakangi lahirnya suatu moralitas.

Moralitas dianggap sebagai sebuah simbol yang mewakili suatu hal lain di sebaliknya. Moralitas apa pun yang dipegang oleh masyarakat sebenarnya hanya sebatas menyimbolkan harapan-harapan masyarakat, kebutuhan, dan pandangan-pandangannya. Nilai baik dan buruk ternyata tidak serta merta bergantung pada obyektivitas bahwa satu hal baik dan satu hal lain buruk. Sifatnya sebenarnya adalah genealogi. Suatu hal dianggap baik dan buruk atau benar dan salah bergantung dari perspektif mana hal tersebut dipandang.

Sebagai contoh di suatu masyarakat terdapat moralitas apabila bertamu dan diberi suguhan maka harus dihabiskan. Jika tidak dihabiskan maka dianggap melecehkan tuan rumah. Di masyarakat lain moralitasnya justru sebaliknya, ketika bertamu suguhan jangan sampai dihabiskan karena bila habis justru akan dianggap serakah dan rakus. Jika demikian, lantas moralitas mana yang benar? Di sinilah genealogi moral berperan. Kesimpulan baik dan buruk, benar atau salah pada contoh kasus di atas harus ditinjau dari masyarakat yang berkaitan dengan moralitas itu sendiri. Harus ditinjau apa maksud di sebalik moralitas yang ada, apa harapan yang ada di sebaliknya, mengapa masyarakat memiliki moralitas semacam itu. Tidak bisa serta merta langsung disimpulkan bahwa moralitas yang satu benar dan yang lain salah.

Moralitas Tuan dan Moralitas Budak

Sebagaimana sebutannya, moralitas tuan adalah ketika seseorang memiliki kedaulatan atas dirinya sendiri. Ia memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu sesuai keinginan sendiri, baik dan buruk sesuai anggapannya sendiri. Ia benar-benar berdaulat atas segala tingkah laku, nasib, dan atas nilai baik dan buruk. Moralitas tuan berarti menunjukkan kekuatan Bagi moralitas tuan, apa yang disebut bermoral berarti mandiri, berani, tegas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun