[PUISI] BATAS UNTUK PERUT SENDIRI
1)
Di garis tipis tanah kering perbatasan
bendera dua negeri berkibar seperti janji rapuh
dijaga seragam hijau dan coklat
yang lebih sibuk menghitung untung
daripada menjaga martabat.
Di tapal batas, rakyat kecil jadi korban
sapi, kayu, dan garam disita atas nama aturan
sementara pejabat di kota
menutup mata dengan pesta dan gelar kehormatan.
Batas negeri mestinya pagar harga diri
bukan celah untuk dagang gelap
bukan lorong sunyi tempat aparat lupa nurani
bukan juga garis semu yang menindas warga sendiri.
O, tanah di garis Atambua hingga Oecusse
berapa lama engkau dijadikan ladang kuasa?
Di atasmu aparat berlagak raja
sementara rakyatmu tetap lapar dan hina.
Indonesia, Timor Leste-bukankah batas itu harus jadi jembatan persaudaraan
bukan tembok ketamakan?
Bukankah tanah leluhur tak mengenal garis peta
kecuali yang digoreskan oleh tangan serakah?
Maka dengarlah wahai pemerintah dan penjaga senjata:
jangan lagi jadikan rakyat kecil umpan kebijakan
jangan lagi pura-pura buta pada luka di perbatasan.
Karena batas bukan hanya soal tanah dan pagar
tetapi tentang martabat bangsa-yang kini kalian biarkan tercabik oleh kerakusan sendiri.
2)
Apakah kalian lupa, wahai penguasa
bahwa perbatasan bukan milik kalian
melainkan milik rakyat yang hidup di atasnya-yang setiap hari menukar peluh dengan lapar
sementara kalian menukar jabatan dengan harta?
Di meja perundingan kalian bicara martabat bangsa
namun di lapangan aparatmu menukar senjata
dengan barang selundupan.
Kalian bicara NKRI harga mati
tapi di perbatasan yang mati selalu rakyat kecil
bukan kursi empuk kekuasaan.
Batas negeri ini bukan arena permainan
bukan garis imajiner untuk menguji keserakahan.
Jangan biarkan ia menjadi ladang pajak liar
ladang perintah tanpa hukum
ladang di mana rakyat dianggap hama
sementara aparat jadi tuannya.
Jika kalian benar-benar ingin dihormati
hentikan menjadikan batas sebagai alat peras
hentikan menjadikan seragam sebagai alasan keras
hentikan menjadikan rakyat sebagai tumbal kebijakan palsu.