Mohon tunggu...
H Febriyanto Chrestiatmojo
H Febriyanto Chrestiatmojo Mohon Tunggu... Penulis

Menyajikan artikel berisi tips-tips yang relevan dengan isu dan tema pilihan saat itu—dengan gaya reflektif, aplikatif, dan mengundang dialog.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepeda Lipat, Teman Perjalanan atau Pelarian?

22 Juli 2025   01:00 Diperbarui: 21 Juli 2025   18:06 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Sepeda Lipat, Teman Perjalanan atau Pelarian?, Sumber: kompas.com

Setiap pagi, saat suara motor mulai memenuhi udara dan deru mobil berbaris di lampu merah, aku melipat sepeda kecilku, mengaitkan helm di tas, dan mulai mengayuh. Jalur yang kupilih bukan yang tercepat, tapi yang paling jujur menghadirkan pagi. Kadang lewat jalan perkampungan, kadang menyusuri trotoar yang tak mulus. Tapi selalu ada ruang hening di sela putaran roda.

Aku bukan pesepeda profesional. Sepeda lipat ini bahkan bekas, kubeli dari teman yang pindah kota. Ringan, bisa dilipat dan disimpan di kantor, tidak menarik perhatian. Tapi justru itu yang membuatnya pas untukku: tidak membuatku merasa gagah, tapi cukup untuk merasa hadir.

Sebelumnya, aku mengandalkan motor. Cepat, praktis, dan bisa "kabur" dari kemacetan. Tapi lambat laun, aku merasa hidupku seperti terus terburu-buru. Dari rumah ke kantor, dari kantor ke rumah, semua seperti lintasan tanpa jeda. Sampai suatu hari, aku berhenti di lampu merah dan menyadari: aku tidak pernah mengingat warna langit pagi.

Sejak itu, aku mulai mencoba bersepeda. Awalnya seminggu sekali. Lalu makin sering. Bukan karena ingin hemat atau sehat semata, tapi karena ingin hidup sedikit lebih pelan. Dan sepeda lipat memberi itu: kebebasan untuk tidak selalu ngebut.

Saat mengayuh, aku bisa melihat orang tua menyiram tanaman, anak-anak berangkat sekolah sambil menggenggam roti, atau ibu-ibu membuka toko kelontong sambil bersenandung pelan. Hal-hal yang dulu hilang di balik helm dan kaca spion motor.

Sepeda ini juga jadi penanda ritme batinku. Saat sedang gelisah, aku tahu kayuhan akan lebih cepat. Saat tenang, jalannya mengalir. Dan saat capek, sepeda bisa dilipat, dituntun. Tidak memaksa.

Benarkah ini nyaman?

Secara logistik, kadang tidak. Aku harus membawa baju ganti saat hujan. Harus siap keringat saat panas. Dan jarak tempuh tentu lebih lama. Tapi ada kenyamanan lain yang tak bisa diukur: rasa pulang ke diri sendiri. Bahwa setiap perjalanan bukan hanya soal sampai, tapi soal merasa cukup.

Sepeda lipat juga jadi teman batin. Ia tidak pernah marah saat kulewatkan beberapa hari. Tidak pernah rewel. Dan yang paling penting, ia tidak membuatku merasa harus jadi seseorang. Aku tetap aku, dengan ritme yang kupilih sendiri.

Kini, orang-orang sering bertanya, "Kenapa nggak naik motor aja, kan lebih cepat?" Aku hanya menjawab, "Karena aku nggak lagi nyari cepat. Aku nyari sadar."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun