Mohon tunggu...
Febi M. Putri
Febi M. Putri Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Paruh Waktu

Berkreasi, berefleksi, berbagi pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Lelaki Bercahaya

24 Juni 2022   21:51 Diperbarui: 21 Oktober 2022   15:11 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan-bulan terakhir ini aku tidak terlalu bersemangat. Lelaki itu tidak pernah hadir lagi di rumah kami. Aku jadi sering melamun mengharapkan kehadirannya. Kemanakah Lelaki Bercahaya itu?

Suasana kampung juga tampak lesu. Jalanan depan rumah yang biasanya ramai oleh anak-anak sekolahan, para orangtua yang hendak bekerja, atau pedagang kaki lima yang melintas; kini tampak kosong dan sunyi. 

Sesekali terlihat satu dua orang melintas dengan kain yang menutupi hidung hingga dagu mereka. Kata nenek, dunia sedang dijangkiti wabah virus yang mematikan. Wabah ini menyebabkan kekacauan di segala aspek kehidupan, termasuk ekonomi.

Jangankan ekonomi dunia, warung nenek saja nasibnya sudah di ujung tanduk. Warung nenek sepi pelanggan. Gorengan yang panas menjadi dingin, roti-roti bungkus menjadi basi, dan serenceng minuman kemasan hanya tergantung di kayu hingga berdebu. 

Kini, tiap dua hari sekali aku membantu nenek berkeliling kampung untuk menjual gorengan buatannya. Itu pun sering tak laku. 

Nenek yang biasanya menyajikan daging ayam tiga hari sekali, sekarang hanya memasak tahu atau tempe. Bahkan kami sempat benar-benar kehabisan bahan makanan karena tidak mampu membelinya.

Nenek sepertinya mulai kewalahan. Kini ia tampak mengoceh setiap hari. Hari ini nenek bilang kepalanya terasa berat, kemarin ia mengaduh karena ulu hatinya nyeri, kemarin lusa ia mengeluhkan persendian lututnya yang terasa kaku. 

Ia tampak sering menggerutu sendiri dan menangis meratapi nasib. Aku pun mulai tak tahan dengan keadaan. Rasanya cobaan hidup semakin bertubi-tubi.

Aku merebahkan tubuhku yang lelah di kasur tipis di dalam kamarku. Di pojok ruangan, ada sebuah meja belajar yang memiliki rak dengan tumpukan buku pelajaran yang tak pernah kusentuh lagi. 

Ada pula beberapa kertas kecil yang tertempel di meja itu. Kertas bertuliskan impian yang sudah lama aku lupakan. Jangankan impian setinggi bintang, menyenangkan hati nenek saja aku tak mampu. 

Ingatanku melayang ke masa lalu. Dadaku seperti ditimpa beban berat. Aku memejamkan mata, tak sanggup membendung air yang menggenang di pelupuk mataku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun