Mohon tunggu...
F. Chaerunisa
F. Chaerunisa Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Akun ini sudah tidak aktif.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sexy Killers: Wajah Oligarki Negeri

19 April 2019   13:59 Diperbarui: 19 April 2019   14:10 2397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah nonton Sexy Killers? Iya, film dokumenter yang membeberkan sisi gelap pertambangan batubara hingga PLTU-nya di Indonesia. Di dalam film, dikisahkan bagaimana makmurnya Pulau Jawa---terutama ibukota---dengan gemerlap cahaya di setiap sudutnya, dan betapa suramnya kehidupan mereka yang harus berkutat dengan asma, kispa, dan penyakit pernapasan lainnya di daerah nan jauh dari pelupuk mata orang-orang Jawa.

Banyak juga yang terenggut nyawanya akibat tenggelam di lubang bekas galian tambang. Hanya dalam kurun waktu 4 tahun (2014---2018) jumlah nyawa melayang akibat tenggelam dalam lubang-lubang ini mencapai 115 jiwa.

Dalam pandangan saya, film ini tidak lebih dari dokumenter lain dari berbagai dokumenter yang mengangkat isu lingkungan. Ia mengungkap sisi gelap dari hal yang merugikan lingkungan beserta masyarakatnya. Daya pikatnya yang tinggi justru terletak pada pembongkaran jejak perusahaan batu bara di Indonesia yang ternyata sebagian besar dipegang oleh beberapa elit politik.

Gibran Rakabuming, putra pertama Presiden Jokowi, ternyata pernah tercatat sebagai pemegang saham dan komisaris PT Rakabu Sejahtera yang kini telah digantikan oleh adiknya, Kaesang Pangarep. Dokumen perusahaan menyebutkan bahwa mebel bukanlah satu-satunya bidang usaha PT Rakabu Sejahtera.

Saham perusahaan ini juga dimiliki oleh PT Toba Sejahtera milik Menko Kemaritiman, Luhut Panjaitan. Grup Toba Sejahtera sendiri merupakan induk perusahaan PT Toba Bara yang memiliki tambang batu bara dan PLTU. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam film yang sedang kita ulas, PT Toba Bara telah membeli saham Sandiaga Uno di PLTU Paiton.

Selain Luhut Panjaitan, beberapa nama yang termasuk dalam pertambangan batubara dari TKN Jokowi-Amin. Ketua Tim Bravo 5 (timses Jokowi-Amin), Jend. TNI (Purn.) Fachrul Razi, merupakan seorang komisaris PT Toba Sejahtera serta PT Antam. Selanjutnya ada Jend. TNI (Purn.) Suaidi Marasabessy yang merupakan komisaris PT Kutai Energi, salah satu anak perusahaan PT Toba Sejahtera. Nama-nama lain dari TKN ialah: Oesman Sapta Oedang (anggota Dewan Penasehat TKN) atas keterkaitannya melalui PT Total Orbit di Barito Utara dan Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan; Andi Syamsudin Arsyad (pernah menjabat sebagai bendahara TKN) yang merupakan pemilik tambang batubara di bawah Grup Johnlin; Hary Tanoesoedibjo, yang memiliki jabatan sama dengan Oesman dalam TKN, "bermain" di ranah tambang lewat perusahaan induk, MNC Energy and Natural Resource yang membawahi 9 perusahaan; serta Jusuf Kalla (anggota Dewan Pengarah TKN sekaligus Wakil Presiden RI 2014---2019) melalui Grup Kalla.

Tak kalah dari tim sebelah, capres nomor urut 02 tercatat sebagai pemilik Nusantara Energy Resources yang membawahi setidaknya 17 anak perusahaan. Calon wakilnya, Sandiaga Uno, merupakan pemegang saham Grup Saratoga serta pernah menjabat sebagai direktur di PT Multi Harapan Utama di Kutai Kertanegara. Nama Sandi Uno juga muncul di PT Adaro Energy, sebuah perusahaan tambang batubara terbesar di Indonesia saat ini yang memiliki saham di PLTU Batang.

Di BPN sendiri, tercatat beberapa anggota yang juga memiliki kontribusi dalam perusahaan tambang batubara di Indonesia. Hashim Djojohadikusumo selaku Direktur Komunikasi dan Media BPN sekaligus adik dari Prabowo Subianto merupakan pemegang saham di PT Batu Hitam Perkasa yang memiliki PLTU di Paiton sebelum menjadi milik PT Saratoga Investama Sedaya milik Sandi Uno. Oleh cawapres nomor urut 02 ini, sahamnya kemudian dijual kepada PT Toba Bara milik Menko Kemaritiman. Selain Hashim, ada Ferry Mursyidan Baldan (Direktur Relawan BPN). Melalui istrinya, Ferry memiliki 3 izin usaha penambangan batubara di Kabupaten Berau lewat PT Syahid Berau Lestari, PT Rantau Panjang Utama Bakti, dan PT Syahid Indah Utama.

Keterlibatan elit dari kedua kubu dalam pertambangan Indonesia ini mencerminkan politik oligarki yang masih begitu mengakar di negeri ini. Sebelum beralih ke pembahasan yang lebih jauh, mari kita pahami oligarki terlebih dahulu.

Oligarki adalah suatu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok kecil saja, kelompok elit ini biasanya dibuat berdasarkan kelompok orang kaya, kelompok militer, kelompok dengan pengaruh politik yang kuat, dan/atau gabungan dari kelompok-kelompok itu. Tabachnik dan Koivukoski (2011) mengemukakan ciri-ciri pemerintahan oligarki yang diantaranya menyebutkan bahwa dalam oligarki, biasanya terdapat kualifikasi properti (kepemilikan materi) yang tinggi dalam semua jabatan serta keidentikannya dengan keluarga, kekayaan, dan pendidikan.

Oligarki tentu menimbulkan cacat, terutama dalam kehidupan bernegara. Pemerintahan di bawah sekelompok orang yang berkuasa secara materi tentu sangat mudah untuk diselewengkan, mengingat kelompok orang yang memerintah---pada umumnya--- memiliki kepentingan yang sama. Hal ini mengakibatkan kecilnya pengaruh rakyat terhadap keputusan politik maupun ekonomi yang diambil pemerintah. Kelemahan oligarki lainnya ialah tidak adanya keadilan akibat kekuasaannya hanya dikerahkan untuk mencapai kepentingan orang-orang yang memegang pemerintahan itu, bukan untuk kepentingan umum.

Maka, selama ini, dan selama periode selanjutnya, oligarki dapat dipastikan akan terus lestari di Negara kita. Tampuk kepemimpinan yang dikelilingi oleh kelompok elit berduit dari kalangan pengusaha tambang membawa kepentingan mereka sendiri ke dalam sistem politik yang seharusnya menghasilkan output untuk rakyat. Realita yang terjadi tentu bertolak belakang dengan teori.

Persis seperti apa yang digambarkan oleh film kontroversial yang menjadi dasar tulisan ini: rakyat kecil, mau protes bagaimanapun kerasnya, mau ditumbalkan untuk penerangan Indonesia pun, tetap tidak digubris oleh mereka yang membuat keputusan di atas sana. Izin tambang selalu keluar, dan mereka yang protes bisa dikriminalisasi.

Contohnya, Bapak Nyoman, seorang transmigran dari Bali yang bertransmigrasi ke Kalimantan pada tahun 1980. Sepuluh tahun setelah beliau pindah, perusahaan batu bara datang dan menghancurkan jalur air untuk sawah-sawah tempat ia dan banyak transmigran lainnya mencari nafkah. Ia protes dengan cara menghadang alat berat. Bukan keadilan yang ia dapat, ia malah ditangkap dan dipenjara selama 3 bulan.

Nasib sama juga dialami oleh Carman dan Cayadi pada Mei 2014 di Batang. Keduanya menolak menjual tanah mereka hingga dikriminalisasi dengan alasan "melakukan kekerasan". Akibatnya, mereka divonis 7 bulan penjara.

Jelas bahwa oligarki membuat rakyat rugi. Bukan lagi sekedar hukum yang tumpul ke atas tajam ke bawah, tapi produk hukum itu sendiri nantinya akan lebih banyak berpihak pada mereka yang memiliki keseragaman kepentingan dalam pemerintahan.

Lantas, apa yang harus kita lakukan? Benarkah kita seharusnya tidak memilih kedua kandidat di kontestasi politik (pilpres) kemarin?

Referensi:

David Tabachnik dan Toivu Koivukoski 2011, On Oligarchy: Ancient Lessons for Global Politics, University of Toronto Press, Toronto.

Sexy Killers 2019, film dokumenter, Watchdoc Image.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun