Mohon tunggu...
Fauzi Zee
Fauzi Zee Mohon Tunggu... -

Pengen jadi penulis. www.catatan-sizee.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Pengusaha

24 Januari 2016   09:03 Diperbarui: 24 Januari 2016   12:19 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

GURU. Kata yang menjadikan sosok manusia penuh wibawa dan kasih sayang menjadi sebuah imaji. Sosok manusia yang senantiasa sabar dalam membimbing anak didiknya. Atau mungkin sebaliknya? Merupakan jelmaan sosok manusia galak berkumis tebal, mata melotot dan sering marah-marah. Tentang guru dalam imaji memang tergantung sudut pandang dan persepsi masing-masing.

Guru dalam imajiku saat ini, tentang guru formal. Guru yang biasa mengajar di lembaga-lembaga formal. Aku sendiri tengah berproses menjadi seorang guru. Kuliah di sebuah institut swasta ternama, konsentrasi jurusan pendidikan bahasa arab. Tentunya, tinjauan alur pendidikan mengharuskanku menjadi seorang guru.

Namun, hal itu bukan prioritas. Tak ada rencana pasti dalam benakku untuk mewujudkannya. Aku hanya mengikuti arus yang membawaku hanyut. Yang membuatku tersangkut dalam alur hidup saat ini. Menjauh dari alur hidup yang telah kurencanakan. Manusia hanya sebatas perencana. Tuhan jua lah yang menentukan.

Banyak hal-hal yang menarik terkait guru dan dunia keguruannya. Misalnya saja tentang istilah "Kesejahteraan guru". Kesejahteraan guru menurut pemahamanku: Sebuah usaha terkait finansial, guna mecukupi kebutuhan hidup para guru. Pada dasarnya Aku setuju dengan hal itu. Sebab sebuah jerih payah itu sudah semestinya mendapat imbalan yang setimpal. Meski yang disebut imbalan itu tidak sebatas materi saja. Melain bentuk yang lain yang kita kenal dengan istilah "pahala". Dari situlah kita mengenal istilah "tanpa pamrih".

Sebuah pertanyaan yang membuatku berpikir keras, "Lantas bagaimana caranya agar kebutuhan guru tercukupi dan istilah 'tanpa pamrih' pun tidak memudar. Tetap melekat sebagai jati diri seorang guru?"

Aku pernah mendengar ucapan seorang guru yang terasa nyeleneh namun jika direnungkan memang benar adanya, "Jadi guru itu itung-itung tabungan akhirat. Makanya harus sabar dan ikhlas kalau ngajar. Jangan berharap lebih!"

Aku tidak faham sama sekali apa maksudnya. Hingga tempo hari temanku berkata, "Kalau mau banyak duit jangan jadi guru. Tapi jadi pengusaha!"

Mendengar celotehan temanku itu, Aku teringat akan ucapan seorang guru kenalanku waktu itu. Dengan sendirinya ucapan guru dan temanku itu membaur, menjadi racikan yang menghasilkan sebuah kesimpulan. Tentunya kesimpulan atas pemikiranku, bukan orang lain.

Disatu sisi, Aku pasti memerlukan tabungan akhirat yang menurutku hanya bisa didapat dengan mengamalkan sikap "tanpa pamrih" itu. Disisi lain, Aku juga harus bisa mencukupi kebutuhanku. Bahkan keluargaku nanti. Kesimpulanku, jika garis takdirku menjadi seorang guru (formal), Aku harus menjadi "Guru Pengusaha". Guru yang memiliki penghasilan lain dan tidak melulu berharap besar dari embel-embel kesejahteraan yang pada prosesnya "tidak begitu sehat". Yang bisa saja mengikis habis sikap tanpa pamrih. Karena prioritas beralih dari keikhlasan mengajar menjadi sebuah tuntutan guna mendapat "kesejahteraan". Ya...meskipun tidak semuanya begitu. Itu hanya pemikiran dan jalanku saja. Karena Aku hanya manusia biasa yang memiliki hati yang mudah dibolak-balik. Sebelum mengakhiri tulisan ini, Aku hendak menyuguhkan sebuah puisi. Selamat menikmati.
----------------------------------------------
Kau Tahu?
Oleh: Fauzi Zee

Kau tahu?
Aku sempat berkata, "Aku tidak ingin jadi guru."
Tentu itu hanya bermakna semu.
Aku ingin menjadi guru dengan caraku.
Guru yang tidak menelantarkan anak-anak didikku.
Korban dari sistem yang keliru.

Kau tahu?
Guru itu bukan melulu yang setiap hari bergandengan dengan papan tulis.
Yang kesejahteraannya baru terpenuhi belum lama ini.
Yang dalam prosesnya banyak menggerogoti jiwa-jiwa Oemar Bakri.
Bahkan Guru Een Sukaesih pun tak sempat mencicipi.
Ia selamat sebab maut menerbangkannya bersama mimpi-mimpi.
Keadaan yang begitu ironis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun