Dalam kerangka ini, rasionalitas akuntansi tidak lagi terbatas pada kebenaran empiris, tetapi meluas menjadi rasionalitas interpretatif---yakni kemampuan untuk menyingkap makna yang tersembunyi di balik simbol dan tindakan manusia. Validitas pengetahuan akuntansi hermeneutik tidak diukur melalui eksperimen atau generalisasi statistik, melainkan melalui kedalaman pemahaman dan koherensi makna. Sebuah penelitian akuntansi yang menelusuri makna kejujuran, tanggung jawab sosial, atau rasa bersalah seorang akuntan dalam praktik audit mungkin tidak menghasilkan angka-angka pasti, tetapi tetap ilmiah karena berhasil memahami dimensi manusiawi dari profesi tersebut.
Dengan demikian, epistemologi hermeneutik membawa akuntansi pada pemahaman yang lebih utuh: bahwa angka tidak pernah netral, dan setiap laporan keuangan adalah hasil dari proses penafsiran kehidupan. Melalui pandangan Dilthey, akuntansi menjadi bukan sekadar ilmu tentang data, tetapi juga ilmu tentang makna. Ia tidak berhenti pada pertanyaan "berapa besar keuntungan yang diperoleh," tetapi melangkah lebih jauh pada pertanyaan "apa makna keuntungan itu bagi manusia dan masyarakat." Dalam pengertian ini, akuntansi hermeneutik tidak hanya mencari kebenaran objektif, tetapi juga berupaya memahami kebenaran hidup yakni makna yang membuat angka-angka itu bernilai bagi kehidupan manusia itu sendiri.
4. Ontologi Hermeneutik Akuntansi: Akuntansi sebagai Dunia Hidup
Wilhelm Dilthey berpendapat bahwa realitas manusia tidak bisa dipahami sebagai sesuatu yang berdiri di luar dirinya, melainkan sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri. Ia menyebutnya dengan istilah das Leben atau kehidupan yang dihayati. Dalam pandangannya, kehidupan manusia selalu berada dalam konteks sejarah, budaya, dan pengalaman yang membentuk makna. Karena itu, ontologi hermeneutik tidak berfokus pada objek-objek mati atau hukum universal seperti dalam ilmu alam, melainkan pada kehidupan yang bermakna. Realitas sejati bagi manusia bukanlah data atau angka, tetapi pengalaman hidup yang memberi makna pada data dan angka tersebut.
Dalam konteks akuntansi, pandangan ini menuntun kita untuk melihat bahwa akuntansi bukanlah entitas yang berdiri sendiri. Ia tidak eksis di luar manusia, melainkan ada di dalam kehidupan manusia itu sendiri. Setiap catatan transaksi, laporan keuangan, maupun kebijakan akuntansi adalah bentuk ekspresi manusia dalam memahami dan mengatur kehidupannya. Laporan laba rugi, misalnya, tidak sekadar menggambarkan kondisi keuangan, tetapi juga merefleksikan pandangan moral dan sosial tentang bagaimana kekayaan dihasilkan dan dibagikan. Akuntansi adalah bahasa yang digunakan manusia untuk menuturkan kisah hidup ekonominya---sebuah "cerita angka" yang penuh makna.
Dilthey menggunakan istilah Lebenswelt atau "dunia hidup" untuk menjelaskan bahwa manusia tidak hidup di dunia yang netral, melainkan di dunia yang penuh makna dan nilai. Dalam dunia hidup inilah sistem akuntansi lahir dan berkembang. Misalnya, dalam masyarakat agraris tradisional, pencatatan keuangan sering kali dihubungkan dengan rasa keadilan dan kebersamaan. Di masyarakat modern, akuntansi berfungsi sebagai alat legitimasi dan pengendalian yang menegaskan performa organisasi. Sementara dalam konteks spiritual, laporan keuangan bahkan dapat dimaknai sebagai pertanggungjawaban moral kepada Tuhan dan sesama. Semua contoh itu menunjukkan bahwa makna akuntansi selalu bergantung pada konteks sosial dan budaya tempat ia hidup.
Dengan demikian, akuntansi memiliki dimensi ontologis yang hidup dan historis. Ia bukan sekadar sistem yang diciptakan sekali lalu berlaku selamanya, melainkan hasil tafsir manusia terhadap kehidupannya yang terus berubah. Akuntansi di Eropa abad ke-19 yang menekankan efisiensi dan pengendalian tentu berbeda dengan akuntansi sosial di Indonesia yang menonjolkan nilai gotong royong dan keseimbangan moral. Hal ini sejalan dengan pemikiran Dilthey bahwa setiap bentuk ekspresi manusia adalah hasil dari "jiwa historis" suatu masyarakat. Setiap praktik akuntansi mencerminkan cara suatu komunitas menafsir kehidupan dan mengekspresikan nilai-nilainya.
Selain itu, konsep Ausdruck atau ekspresi menjadi sangat penting dalam memahami ontologi akuntansi. Dilthey menjelaskan bahwa kehidupan manusia selalu berusaha menampakkan dirinya melalui bentuk-bentuk ekspresi yang dapat dipahami oleh orang lain. Dalam akuntansi, ekspresi itu mengambil wujud simbol-simbol: angka, laporan, tabel, atau bahkan tanda tangan auditor. Simbol-simbol ini bukanlah bentuk kosong, melainkan "jejak kehidupan batin" manusia yang menciptakannya. Sebuah laporan keuangan tahunan bisa dipahami sebagai Ausdruck dari tanggung jawab, rasa takut, kejujuran, atau ambisi. Setiap angka yang tertulis di dalamnya adalah hasil dari keputusan moral dan nilai yang dihayati.
Dari sudut pandang hermeneutik, simbol-simbol akuntansi berfungsi sebagai sarana komunikasi antara kehidupan batin dan dunia luar. Akuntansi menjadi medium yang menjembatani antara dunia pikiran manusia dengan dunia sosial tempat ia hidup. Ketika seorang manajer membuat laporan, ia sesungguhnya sedang "berbicara" kepada masyarakat tentang bagaimana organisasi menjalankan perannya di dunia ekonomi. Maka, memahami akuntansi berarti juga memahami bahasa simbolik kehidupan. Bahasa ini tidak netral, melainkan sarat dengan nilai moral, etika, dan makna sosial.
Akhirnya, hubungan antara manusia dan dunia akuntansi bersifat ko-eksistensial, artinya keduanya saling menyingkap dan menghidupi. Dunia akuntansi tidak ada tanpa manusia yang menafsirkannya, dan manusia tidak dapat memahami kehidupannya tanpa sistem simbolik seperti akuntansi. Dengan kata lain, akuntansi bukan hanya alat untuk mencatat realitas, tetapi juga sarana untuk menciptakan realitas sosial yang baru. Ketika suatu organisasi menyatakan laba, ia tidak hanya melaporkan keadaan, tetapi juga membangun persepsi dan harapan sosial tertentu tentang dirinya. Inilah hakikat ontologi hermeneutik akuntansi: bahwa ia adalah bagian dari kehidupan manusia yang terus hidup, berubah, dan menafsirkan dirinya sendiri.
5. Aksiologi Akuntansi Hermeneutik: Nilai, Empati, dan Makna Moral
Setelah memahami bagaimana pengetahuan dan realitas dalam akuntansi dapat dijelaskan melalui hermeneutika, langkah berikutnya adalah memahami dimensi aksiologis, yaitu nilai dan tujuan moral dari ilmu akuntansi itu sendiri. Aksiologi berbicara tentang apa yang dianggap baik, benar, dan bernilai dalam suatu ilmu. Dalam pandangan Dilthey, pemahaman terhadap manusia tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai kehidupan yang dihayatinya. Ilmu tanpa nilai adalah pengetahuan yang kering dan kehilangan arah kemanusiaan.