Mohon tunggu...
Fauzan Rizqy Hidayat
Fauzan Rizqy Hidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa

Nama : Fauzan Rizqy Hidayat NIM : 43223010058 Program Studi / Fakultas : S1- Akuntansi / Fakultas Ekonomi dan Bisnis Mata Kuliah : Sistem Informasi Akuntansi Dosen : Prof.Dr. Apollo , Ak , M. Si. Universitas Mercu Buana Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey

11 Oktober 2025   15:13 Diperbarui: 11 Oktober 2025   15:23 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kerangka pikir Dilthey, pemahaman (Verstehen) menjadi konsep kunci. Berbeda dari penjelasan kausal dalam ilmu alam (Erklren), Verstehen adalah upaya masuk ke dalam dunia batin orang lain --- merasakan dan menghidupkan kembali pengalaman hidup mereka (Nacherleben). Dalam proses ini, peneliti tidak lagi berada di luar objek kajian secara netral, melainkan ikut terlibat secara batiniah. Ia menjadi penafsir yang berupaya memahami struktur makna di balik ekspresi kehidupan. Maka dari itu, hermeneutika bukan hanya metode teknis, melainkan fondasi epistemologis yang mengakui manusia sebagai subjek yang aktif dan bermakna.

Hermeneutika Dilthey sangat relevan ketika dihubungkan dengan disiplin akuntansi. Selama ini, akuntansi cenderung diperlakukan sebagai cabang ilmu "alam sosial" yang meniru metodologi ilmu eksakta: mengukur fenomena ekonomi dengan indikator kuantitatif, menganalisis hubungan sebab-akibat, dan mencari generalisasi yang objektif. Pendekatan ini sah secara metodologis, tetapi tidak cukup untuk menjelaskan dimensi nilai, moralitas, dan makna sosial yang terkandung dalam praktik akuntansi. Laporan keuangan, misalnya, tidak hanya berisi angka, tetapi juga merefleksikan keputusan, pertimbangan etis, dan makna historis yang dihayati pelakunya.

Dengan menggunakan kerangka hermeneutik Dilthey, akuntansi dapat dipandang sebagai "teks kehidupan ekonomi" yang perlu ditafsir secara kontekstual dan historis. Setiap angka, neraca, dan laporan tahunan adalah ekspresi (Ausdruck) dari kehidupan sosial --- jejak dari pengalaman manusia yang mencoba memberi bentuk pada realitas ekonominya. Pemahaman terhadap akuntansi, oleh karena itu, tidak cukup dilakukan melalui pengukuran kuantitatif; ia membutuhkan penafsiran yang peka terhadap konteks, nilai, dan pengalaman batin subjek ekonomi.

pribadi
pribadi

Lebih jauh, Dilthey juga menekankan pentingnya sejarah dalam proses pemahaman. Ia meyakini bahwa pengalaman manusia selalu bersifat historis: kita memahami sesuatu karena kita hidup dalam arus sejarah dan tradisi yang membentuk horizon makna kita. Dalam akuntansi, hal ini berarti bahwa setiap sistem pelaporan, setiap prinsip akuntansi, dan setiap praktik keuangan selalu lahir dari konteks historis tertentu. Akuntansi kolonial, misalnya, berbeda maknanya dengan akuntansi koperasi lokal, dan keduanya berbeda pula dengan akuntansi korporasi modern. Makna laba, utang, modal, dan pajak tidak bersifat universal, melainkan selalu diproduksi ulang oleh masyarakat dalam ruang dan waktu yang spesifik.

Dengan demikian, landasan teoretis hermeneutika Dilthey memberikan tiga kontribusi penting bagi pemahaman akuntansi:

  1. Epistemologis: Menggeser cara pandang terhadap akuntansi dari sekadar "alat ukur" menjadi "teks kehidupan" yang harus ditafsir.
  2. Ontologis: Menunjukkan bahwa akuntansi adalah bagian dari dunia hidup (Lebenswelt) manusia yang bersifat historis, intersubjektif, dan bermakna.
  3. Aksiologis: Menegaskan bahwa angka-angka akuntansi tidak netral, melainkan mengandung nilai moral dan sosial yang menuntut tanggung jawab.

Landasan inilah yang kelak membuka jalan bagi pengembangan teori akuntansi hermeneutik. Ia memberikan perspektif alternatif terhadap paradigma positivistik yang selama ini mendominasi dunia akuntansi modern. Dengan pendekatan Dilthey, akuntansi tidak lagi hanya "menghitung" realitas, tetapi juga "memahami" kehidupan ekonomi manusia.

3. Dualitas Pengetahuan dan Epistemologi Akuntansi

Wilhelm Dilthey memandang bahwa pengetahuan manusia tidak bersifat tunggal, melainkan terbagi dalam dua cara memahami dunia yang berbeda secara mendasar: Naturwissenschaften (ilmu alam) dan Geisteswissenschaften (ilmu tentang manusia). Kedua cabang ini sama-sama rasional, tetapi berbeda dalam orientasi dan metodenya. Ilmu alam berfokus pada penjelasan sebab-akibat (Erklren), sementara ilmu manusia berfokus pada pemahaman makna (Verstehen). Dalam ilmu alam, pengetahuan diperoleh dengan mengamati dan menjelaskan gejala eksternal secara objektif, seperti bagaimana hukum gravitasi bekerja atau bagaimana sebuah mesin beroperasi. Namun dalam ilmu manusia, pengetahuan muncul melalui partisipasi dan empati terhadap kehidupan batin manusia itu sendiri. Di sinilah Dilthey menegaskan bahwa manusia tidak dapat dipahami seperti benda; kehidupan manusia harus dihayati dan ditafsirkan dari dalam.

Untuk menjelaskan dua cara mengetahui tersebut, Dilthey menggunakan dua perumpamaan: fisiologi dan psikologi. Fisiologi mewakili cara memahami dunia dari luar. Dalam fisiologi, tubuh manusia dianggap sebagai sistem mekanis yang dapat dipelajari melalui pengamatan, pengukuran, dan eksperimen. Dalam akuntansi, cara pandang ini tercermin dalam pendekatan positivistik---ketika peneliti melihat perusahaan dan fenomena ekonomi sebagai objek eksternal yang dapat dijelaskan secara kuantitatif. Misalnya, penelitian yang mencari hubungan antara leverage dan profitabilitas, atau antara CSR dan nilai pasar saham, mencerminkan pandangan bahwa perilaku ekonomi dapat dijelaskan seperti hukum alam. Pendekatan ini menghasilkan data yang objektif, namun sering kali mengabaikan dimensi manusia yang justru menjadi inti dari kegiatan ekonomi itu sendiri.

Sebaliknya, psikologi bagi Dilthey menggambarkan cara memahami manusia dari dalam. Peneliti berusaha masuk ke dalam dunia batin subjek, mencoba merasakan dan menghidupkan kembali pengalaman orang lain (Nacherleben). Dalam konteks akuntansi, pendekatan ini berarti memahami makna yang dihayati oleh pelaku ekonomi di balik setiap angka yang mereka hasilkan. Laporan keuangan tidak lagi dipandang sebagai kumpulan data netral, melainkan sebagai teks kehidupan yang mengandung nilai, emosi, dan tanggung jawab. Angka laba, misalnya, bukan hanya hasil perhitungan logis, melainkan juga simbol dari kerja keras, dilema moral, dan nilai sosial yang menyertai proses ekonomi di baliknya.

Pendekatan hermeneutik ini tidak menolak sains, melainkan menegaskan bahwa memahami manusia memerlukan dimensi yang lebih luas daripada sekadar angka dan rumus. Oleh karena itu, dalam teori akuntansi modern, muncul gagasan tentang epistemologi ganda akuntansi, yakni bahwa akuntansi dapat dipahami melalui dua sudut pandang: dari luar dan dari dalam. Dari luar, akuntansi berfungsi sebagai sistem pengukuran dan pengendalian yang objektif. Dari dalam, akuntansi berfungsi sebagai sistem makna dan komunikasi sosial yang mengandung nilai moral dan simbol budaya. Kedua sisi ini tidak harus dipertentangkan, melainkan saling melengkapi. Angka-angka hanya bermakna jika diiringi pemahaman terhadap konteks dan nilai-nilai yang melatarbelakanginya, sementara pemahaman moral baru memiliki kekuatan ketika diwujudkan dalam pengukuran yang teratur dan transparan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun