Mohon tunggu...
Pekik Aulia Rochman
Pekik Aulia Rochman Mohon Tunggu... Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody. But, I am An Enthusiast in learning of anything.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Maulid Tak Cukup Dirayakan dengan Shalawat?

6 September 2025   19:29 Diperbarui: 6 September 2025   19:56 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: klinikkeluarga.com

Hari Maulid Nabi Muhammad yang baru saja kita peringati sering kali hadir dalam bentuk seremoni: lantunan shalawat, pembacaan syair, dan perayaan penuh sukacita. Semua itu indah, tetapi ada satu hal yang sering terlewat: bagaimana kelahiran Nabi bisa kita hidupkan kembali dalam diri kita hari ini. Sebab Maulid sejatinya bukan hanya momentum mengenang sejarah 1.400 tahun lalu, melainkan undangan untuk menyalakan kembali cahaya kesadaran dalam hati kita masing-masing.

Nabi Muhammad lahir di tengah masyarakat jahiliyah yang penuh kekacauan moral, kebodohan, dan ketidakadilan. Namun dari kegelapan itulah lahir cahaya yang menuntun dunia. Di sinilah letak relevansinya bagi kita: Maulid menjadi pengingat bahwa di tengah derasnya arus informasi, teknologi, dan hiruk pikuk modernitas, manusia masih membutuhkan kelahiran batin---momen di mana hati menemukan kembali arah kepada Sang Pencipta.

Maka, pertanyaan pentingnya bukan sekadar "bagaimana Nabi dilahirkan?", tetapi "bagaimana kita melahirkan Nur Muhammad dalam jiwa kita?". Sebab sejatinya, Maulid bukan hanya tentang mengenang kelahiran beliau, melainkan juga tentang melahirkan kesadaran, akhlak, dan misi hidup yang meneladani Rasulullah sebagai rahmatan lil 'lamn.

Sejarah Lahirnya Cahaya di Tengah Gelap Jahiliyah

Nabi Muhammad lahir pada tahun Gajah, tahun ketika pasukan Abrahah berniat menghancurkan Ka'bah namun digagalkan oleh tentara burung ababil. Peristiwa itu bukan sekadar catatan sejarah, melainkan simbol bahwa kelahiran beliau sudah dipayungi perlindungan Ilahi. Saat itu, masyarakat Arab berada di puncak jahiliyah: penyembahan berhala merajalela, penindasan terhadap kaum lemah dianggap lumrah, perempuan dipandang hina, dan hukum rimba menjadi aturan hidup. Di tengah kegelapan itulah, hadir seorang bayi yang kelak membawa cahaya peradaban.

Para sejarawan menyebut kelahiran Nabi sebagai titik balik sejarah umat manusia. Namun para sufi menambahkan lapisan makna yang lebih dalam: kelahiran Muhammad bukan hanya peristiwa biologis, tetapi lahirnya nur ilahi yang akan menuntun manusia keluar dari kegelapan batin menuju kesadaran. Nur Muhammad itulah yang kemudian menjelma menjadi akhlak mulia, syariat yang menuntun, dan rahmat yang meliputi seluruh alam.

Jika kita menoleh ke zaman kini, situasinya tidak jauh berbeda. Meski hidup di era digital dengan segala kecanggihan teknologi, manusia justru kerap tenggelam dalam gelapnya informasi palsu, kesenjangan sosial, dan kerusakan moral. Di sinilah Maulid menemukan relevansinya: cahaya Nabi harus dilahirkan kembali, bukan hanya dalam perayaan, tetapi dalam hati yang siap menjadi lentera. Sebab kegelapan zaman tidak bisa dilawan dengan lampu sorot, melainkan dengan nur kesadaran yang lahir dari dalam diri.

Kesadaran Lebih Penting dari Pengetahuan

Dalam perjalanan manusia, pengetahuan sering dijunjung tinggi sebagai tanda kemajuan. Kita bersekolah setinggi-tingginya, membaca buku berderet-deret, bahkan mengoleksi sertifikat seolah itu menjadi jaminan kebijaksanaan. Namun sejarah Nabi Muhammad memberi pelajaran berbeda: wahyu pertama yang turun bukanlah perintah untuk menimbun informasi, melainkan "Iqra'"---bacalah. Perintah ini bukan sekadar membaca huruf di kertas, tetapi membaca diri, membaca alam, dan membaca tanda-tanda Allah dalam kehidupan.

Di sinilah perbedaan mendasar antara pengetahuan dan kesadaran. Pengetahuan memberi informasi, tetapi kesadaran menghadirkan transformasi. Banyak orang berpengetahuan luas, tetapi hatinya kering dan perilakunya tetap dikuasai ego. Sebaliknya, ada yang pengetahuannya terbatas, namun hatinya lapang, penuh kasih, dan tindakannya menebarkan rahmat. Itulah yang disebut kesadaran: kemampuan menghadirkan nilai-nilai ilahi dalam keseharian.

Nabi Muhammad adalah contoh paling nyata. Beliau tidak dikenal sebagai cendekiawan dengan ribuan kitab, tetapi sebagai pribadi dengan akhlak agung (QS. Al-Qalam:4). Kesadaran yang beliau bawa menjelma menjadi kejujuran, kelembutan, keberanian, dan keadilan---nilai-nilai yang melampaui sekadar pengetahuan teoritis.

Hari ini, ketika dunia dijejali informasi tanpa henti, kita semakin dituntut untuk kembali pada inti: apakah kita benar-benar hadir dan sadar? Apakah ilmu yang kita dapatkan membuat kita lebih bijaksana, atau justru menambah kesombongan? Maulid mengingatkan, bahwa warisan terbesar Nabi bukanlah tumpukan data, melainkan cahaya kesadaran yang menghidupkan hati.

Misi Jiwa -- Pertempuran Harian Melawan Ego

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun