Kenakalan yang Tak Pernah Usai
Setiap generasi punya versi anak nakalnya sendiri. Dulu mereka nongkrong di pinggir jalan, sekarang mungkin viral karena tawuran live di TikTok. Ada yang bolos, ada yang ngelem, ada pula yang melawan guru karena tekanan rumah tak tertahankan. Di mata masyarakat, mereka dianggap biang kerok---anak-anak yang melenceng dari harapan.
Dalam kekhawatiran itu, muncul satu pertanyaan abadi: apa yang harus kita lakukan dengan anak-anak seperti ini? Dibiarkan liar, mereka bisa merusak masa depan. Tapi jika terlalu keras, kita justru kehilangan mereka selamanya.
Baru-baru ini, langkah mengejutkan kembali diambil. Pada awal Mei 2025, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi meluncurkan program yang disebut sebagai "pendidikan karakter berbasis militer." Sebanyak 69 siswa dari Purwakarta dan Bandung yang dianggap bermasalah dikirim ke barak militer, untuk "dibina" selama enam bulan penuh. Tanpa sekolah formal. Tanpa aktivitas sosial lain. Fokusnya satu: membentuk kedisiplinan.
Langkah ini sontak menuai pro dan kontra. Bagi sebagian pihak, ini adalah bentuk ketegasan yang dibutuhkan zaman---akhirnya ada pejabat yang "nggak cuman wacana." Tapi bagi pengamat pendidikan dan pemerhati hak anak, kebijakan ini mengkhawatirkan. Apakah disiplin militer cocok diterapkan pada remaja yang sedang labil secara emosional dan psikologis? Apakah ini bentuk kasih sayang negara, atau justru penjinakan paksa yang menyamar dalam nama pendidikan?
Tulisan ini tidak berniat menghakimi. Sebaliknya, ia mengajak kita untuk merenung bersama: adakah cara lain yang lebih manusiawi dalam memperlakukan anak-anak "nakal"? Adakah kebijakan yang lebih menyentuh akar masalah tanpa melukai jiwanya?
Melalui telaah terhadap program Dedi Mulyadi dan empat pendekatan alternatif dari Selandia Baru, Bandung, Salatiga, hingga Skandinavia, kita akan menelusuri jalan yang mungkin bisa membuat kita, sebagai bangsa, lebih cerdas dalam mendidik---dan lebih lembut dalam mengasihi.
Kebijakan Dedi Mulyadi: Solusi Tegas atau Sekadar Efek Jera?
Dedi Mulyadi bukan tokoh yang asing dengan langkah tak biasa. Dari cara berpakaiannya yang khas Sunda hingga gaya blusukan tanpa protokoler, ia selalu tampil sebagai sosok "dekat dengan rakyat." Namun kebijakan terbarunya sebagai Gubernur Jawa Barat---mengirim puluhan siswa "nakal" ke barak militer---menjadi babak baru yang memicu debat luas.
Apa Tujuan Kebijakan Ini?
Program ini diberi label "pendidikan karakter berbasis militer." Sebanyak 69 siswa SMP dan SMA dari wilayah Purwakarta dan Bandung yang dianggap bermasalah---karena terlibat kenakalan remaja, pelanggaran sekolah, atau sikap tidak disiplin---dikumpulkan, lalu dikirim ke barak militer selama enam bulan. Di sana, mereka tidak mengikuti kegiatan belajar formal seperti biasa. Fokus utama program ini adalah pembinaan fisik, kedisiplinan, dan perubahan mentalitas.
Tujuannya jelas: membuat efek jera. Mengembalikan "respek" terhadap otoritas, membentuk sikap tertib, dan memutus kebiasaan membangkang yang dianggap meresahkan masyarakat.
Namun apakah itu cukup?