Empat pendekatan ini, dari empat penjuru dunia, menawarkan cara mendidik yang lebih tenang tapi berdampak. Tidak menghukum, tapi memulihkan. Tidak menaklukkan, tapi menumbuhkan.
a. Selandia Baru: Saat Anak Diberi Kesempatan Meminta Maaf
Bayangkan seorang remaja di Selandia Baru melakukan pencurian. Di negara lain, mungkin ia langsung berhadapan dengan pengadilan. Tapi di sini, ia justru diajak duduk melingkar---bersama orang tuanya, korban, dan fasilitator. Mereka bicara. Mendengarkan. Mencoba memahami.
Inilah restorative justice, sistem yang diterapkan sejak 1989 lewat Youth Justice System. Tujuannya bukan menghukum, melainkan memulihkan luka yang ditinggalkan sebuah kesalahan.
Dan ini bukan romantisme belaka. Data dari Kementerian Kehakiman NZ (2020) menunjukkan, pendekatan ini mampu menurunkan tingkat pengulangan kejahatan anak hingga 15%.
Tentu tak semua berjalan mulus. Dibutuhkan korban yang bersedia, fasilitator yang netral, dan sistem yang sabar. Tapi setidaknya, anak diberi ruang untuk bertanggung jawab, bukan sekadar dijatuhi vonis.
Indonesia sebenarnya punya potensi besar ke arah ini. Sejak 2012, UU SPPA sudah membuka jalan. Tapi seperti banyak hal lain, implementasinya masih tertatih---terhambat SDM dan infrastruktur hukum yang belum merata.
b. Bandung: Kota yang Ramah Itu Dimulai dari Senyum Anak
Pernahkah kita membayangkan, bahwa taman bisa menyelamatkan anak-anak? Bandung pernah membuktikannya.
Di bawah Ridwan Kamil, Bandung tidak hanya dibangun dengan beton dan aspal, tapi juga dengan taman-taman tematik, perpustakaan keliling, dan sekolah-sekolah inklusi. Anak-anak tidak hanya disuruh diam di rumah atau sekolah---mereka diberi tempat untuk bermain, berkarya, dan merasa punya kota.
Lewat program seperti Bandung Ulin dan Sekolah Juara, kota ini menerima penghargaan Kota Layak Anak selama lima tahun berturut-turut (2013--2018).
Tentu masih ada kritik---akses ke taman lebih mudah bagi anak kota daripada mereka di pinggiran. Tapi pesannya jelas: kenakalan bisa dicegah bukan dengan pagar dan larangan, tapi dengan ruang dan kepercayaan.
Model ini bisa diadopsi di kota lain. Bukan soal gedung megah, tapi soal niat dan alokasi anggaran. Karena ketika anak-anak merasa disambut, mereka jarang merasa perlu melawan.