Mohon tunggu...
fatrisia
fatrisia Mohon Tunggu... menulis bebas

suka nulis fiksi~

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Yang Tidak Terucap di Rumah Susun

1 Juni 2025   15:04 Diperbarui: 1 Juni 2025   15:12 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kresek makanan itu kini terasa seperti ancaman. Seolah ada wajah wanita tua itu tergambar di sana dan mulutnya komat-kamit membeberkan sesuatu lalu tertawa nyaring bagai nenek sihir yang terperangkap dalam cerita orang suci.

J mulai was-was. Ia pikir hidupnya sudah aman. Haruskah ia pindah? Namun, ke mana selembar rupiah berwarna hijau dapat membawanya? Bahkan makanan yang akan jadi tai saja hanya bisa mengenyangkannya kurang lebih dua puluh empat jam. Kota ini terlalu sadis untuk ditinggali.

Sejak hari itu J tidak pernah memakanan makanan yang diberikan diam-diam oleh si wanita tua. Untungnya ia masih punya stok mi instan sehingga dia masih bisa bertahan hidup setidaknya selama sebulan ke depan.

Suatu hari ia ingin makan dengan uang terakhir, hendak membeli makanan di luar. Dia memakai hodie dan masker agar tidak dikenali orang-orang. Sayangnya baru saja tiba di lantai satu rumah susun, wanita tua itu mencegatnya. J sudah ketakutan begitu si wanita tua itu menatap matanya langsung.

Pasti dia akan dipermalukan dan dituduh. Mumpung sore ini banyak sekali orang di sini. Namun, tangan wanita tua itu malah mengajaknya ke dekat gerobaknya lalu menyuguhkannya satu porsi bebek goreng tanpa banyak bicara. J takut-takut makan, matanya sesekali mengikuti wanita tua tersebut. Mencoba membaca apa yang akan terjadi.

Gerobak ini tak lama menjadi sepi pengunjung, pembeli sudah pergi. Mungkin akan ramai lagi saat makan malam. Namun, bukan itu masalahnya. Wanita tua itu sudah duduk di depan J. Mulutnya diam, tetapi sesaat kemudian bicara.

"Kamu pasti udah tahu kalau saya yang kasih makanan itu, kan?"

J menggeleng cepat. Mata bulatnya entah bagaimana menangkap sinyal bahaya.

"Terserah, mau nyangkal juga bukan urusan saya. Lagian itu cuma niat baik. Kamu sudah sebulan ini ga pernah masuk kerja. Dipecat, ya? Ah bukan urusan saya juga. Satu pertanyaan aja, preman itu kamu apain?" Wanita tua itu sibuk berceloteh, meski di akhir nada suaranya merendah seperti bisikan.

Sudah J duga wanita tua itu tahu sesuatu!  Namun, dia buru-buru menggeleng.

"Saya cuma korban!" serunya menegaskan. Pelan, tetapi mengandung amarah berlapis. Matanya menyorot tajam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun