Pak Badi ingin anak-anak itu merasa layak, merasa pantas, dan bisa mandiri tanpa harus meninggalkan identitas mereka atau kehilangan arah hidup. Maka berdirilah Sanggar Pensi sebagai sebuah rumah kedua bagi mereka. Hebatnya lagi semua properti tari, kostum, hingga perlengkapan pertunjukan dibuat sendiri oleh anak-anak tersebut, hasil dari kreativitas dan kerja kolektif mereka.
Tari Petik Kopi sendiri mulai digagas pada tahun yang sama yaitu 2005, oleh Pak Badi yang merasa bahwa Bondowoso belum memiliki tarian ikonik yang benar-benar mencerminkan identitas daerahnya. Pak Badi berkata “kok Bondowoso belum punya tarian yang benar-benar khas yaa?”. Maka selama 6 bulan penuh, beliau melakukan penelitian lapangan di daerah Sempol, kawasan atas menuju Kawah Ijen, sebuah wilayah yang terkenal sebagai pusat perkebunan kopi Arabika.
Di sana beliau mengamati proses kopi dari awal. Mulai dari proses penanaman, kemudian merawat tanaman kopi hingga memanen dan tak lupa untuk mencatat ritual syukur atau pesta kopi yang biasa diadakan masyarakat. Dari situlah, tari petik kopi dikemas sebagai sebuah karya padat berdurasi 6 menit, namun sarat makna dan penggambaran proses yang panjang dan bernilai.
Tari ini bukan sekedar mementaskan aktivitas petani. Ia adalah representasi budaya Pandhalungan, yaitu akulturasi dari tiga etnis utama yaitu Jawa, Madura, dan Osing (Banyuwangi). Uniknya pengaruh ketiga etnis ini tidak hanya tampak dalam gerakan tari, tetapi juga dalam bahasa lirik, busana, dan nuansa iringan musik.
Setiap gerakan memiliki makna simbolis yang menggambarkan aktivitas bertani dengan penuh syukur dan kebersamaan. Gerakan tangan yang lembut namun tegas, langkah kaki yang mantap, serta iringan gamelan laras slendro yang berpadu dengan tong-tong Madura, semuanya menciptakan suasana yang sekaligus sakral dan menghibur. (https://youtu.be/FMudb1rc7d8?si=0rP5yeqBqEp0AM5J).
Busana tari mengusung motif Madura dan Banyuwangi, seperti kain panjang bermotif khas, kebaya, serta sanggul sederhana, ditambah aksesoris daun kopi sebagai penanda utama. Sementara iringan musiknya merupakan perpaduan antara gamelan Jawa dan tong-tong Madura, dilengkapi dengan lirik tembang dalam tiga bahasa Jawa, Madura, dan Osing yang menyuarakan kerja keras dan harapan para petani.
Tari Petik Kopi bukan hanya pertunjukan seni, Ia adalah cerminan kehidupan, perjuangan dan cinta terhadap budaya lokal. Lewat tangan seorang seniman dan pendidik seperti Pak Badi, serta semangat anak-anak yang bangkit lewat seni, budaya Bondowoso tetap hidup dan menari.
Kami merasa beruntung bisa melihat lebih dekat, mendengar langsung, dan menyuarakan kisah yang mungkin selama ini luput dari perhatian banyak orang. Semoga melalui tulisan ini, semakin banyak orang yang sadar bahwa budaya adalah akar dan tarian seperti Tari Petik Kopi adalah salah satu cara untuk terus tumbuh dan berakar kuat di tanahnya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI