Mohon tunggu...
Firda Fatimah
Firda Fatimah Mohon Tunggu... Tutor - Belajar

IG : @fatim_firda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Bayang-bayang "Fresh Graduate Syndrome" di Fase Quarter Life Crisis

15 Mei 2021   15:15 Diperbarui: 29 September 2021   07:00 3552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fresh Graduate (Sumber: id.depositphotos.com)

"Beb, aku pengen curhat," seorang sahabat mengirim pesan pendek kepada saya beberapa hari lalu.

"Aku tiba-tiba galau, suram, memikirkan jalan hidup masa depan," curhatnya kemudian.

Sekelumit curahan hati di atas bukan tanpa alasan, dia memang salah satu calon fresh graduate jenjang sarjana di tahun ini.

Rasanya, hal semacam ini bukan lagi asing di kalangan calon atau lulusan sarjana baru. Kegalauan dan kecemasan yang hadir ini hampir dirasakan oleh kebanyakan dari mereka.

Menjadi calon atau sudah menjadi fresh graduate itu rasanya "nano-nano". Senang karena sudah berhasil melewati masa-masa penuh tantangan dan ujian serta memperoleh gelar baru, tapi juga sedih karena harus siap menghadapi dunia baru yang lebih menantang, atau bahkan "terancam" menambah daftar pengangguran terdidik.

Sebagaimana catatan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa pengangguran di Indonesia pada Agustus 2020 mencapai 9,77 juta orang. Penggangguran tersebut naik 2,67 juta orang dibanding tahun sebelumnya yang mana terjadinya pandemi Covid-19 juga sangat mempengaruhi.

Agung Setiyo Wibowo dalam bukunya "Mantra Kehidupan: Sebuah Refleksi Melewati Fresh Graduate Syndrom dan Quarter Life Crisis" mengistilahkan kegalauan yang dialami para mahasiswa tingkat akhir ataupun lulusan sarjana baru dengan Fresh Graduate Syndrome.

Ia mengartikannya sebagai suatu sindrom yang penuh turbulensi mental dan ketidakpastian arus gelombangnya.

Sindrom ini tak hanya dirasakan ketika awal lulus kuliah, tapi bisa juga dapat dirasakan saat mulai menyelesaikan skripsi atau tugas akhir, jengah dengan pekerjaan pertama, dan lain sebagainya.

Fresh graduate syndrom memang tidak dirasakan oleh semua sarjana baru. Namun, pada umumnya para calon dan atau sarjana baru merasakan sindrom ini dengan tingkat kegalauan yang berbeda-beda.

Dari banyak indikator seseorang mengalami fresh graduate syndrome yang ditulis oleh Agung Setiyo dalam bukunya, saya merangkumnya dalam beberapa poin yang umumnya keadaan tersebut banyak dirasakan oleh lulusan sarjana baru saat ini, seperti:

  1. Belum memiliki tujuan hidup yang jelas setelah lulus
  2. Kurang percaya diri dengan kompetensi diri
  3. Merasa hampa dan cemas berlebihan
  4. Tertekan secara sosial yang mempertanyakan status diri
  5. Mengklaim diri gagal sebagai lulusan perguruan tinggi
  6. Jengah ditanya "Sekarang sibuk apa? Kerja apa? Kapan nikah?"
  7. Takut mencoba hal-hal baru
  8. Masih menjadi beban keluarga padahal sudah sarjana

Kegalauan-kegalauan yang muncul sebagai tanda dari fresh graduate syndrome ini bisa dikatakan cukup wajar. Seseorang yang akan atau baru menjadi fresh graduate, mereka berada pada jenjang usia yang dikenal dengan quarter life crisis atau krisis seperempat abad.

Quater Life Crisis | Ilustrasi oleh blog.amarta.com
Quater Life Crisis | Ilustrasi oleh blog.amarta.com
Dalam buku "Ramen Noodles, Rent, and Resumes: An After Collage Guide Life", Melissa mendefinisakan Quarter Life Crisis sebagai proses ketika seseorang mencapai usia pertengahan dua puluhan tahunan yang menjadi takut tentang arah hidup, termasuk karir, hubungan dan kehidupan sosial.

Sedangkan dalam ProQuest Dissertation and Thesis berjudul "Correlate and Predictor Life Satisfaction Among 15 to 35- Years Old" menvalidasi bahwa quarter life crisis adalah masa di mana mencuatnya ketidakstabilan emosional seseorang yang terjadi pada rentang usia 18-29 tahun dan biasanya dialami oleh individu yang baru menyelesaikan kuliah serta ditandai dengan munculnya perasaan frustrasi, tidak berdaya, panik, dan tidak tahu arah.

Menurut Alwood dan Schiltz, awal munculnya istilah quarter life crisis adalah pada awal abad ke-19 yang mana era Postmodern dimulai. 

Pada masa ini kemajuan teknologi berkembang cukup pesat yang kemudian berujung pada terciptanya globalisasi dan peningkatan standar hidup masyarakat perkotaan. Hal ini juga memunculkan banyak tuntutan hidup dan juga persaingan hidup antar individu yang semakin tinggi.

Dewasa muda di usia 20-an dipaksa untuk mengikuti tuntutan hidup yang ada di masyarakat meskipun tidak sesuai dengan keinginannya. Akibatnya, banyak dewasa muda yang stres dan terbebani sehingga lahirlah istilah quarter life crisis ini. 

Fresh Graduate | Foto oleh Jesserza.blogspot.com
Fresh Graduate | Foto oleh Jesserza.blogspot.com
Kembali pada fresh graduate syndrome, para calon atau yang baru lulus kuliah mereka semakin merasakan fase krisis seperempat abad ini ketika dihadapkan pada aspek Wofklife. 

Bahkan, pada sebuah penelitian di salah satu universitas, hampir seluruh mahasiswa tingkat akhir merasa cemas dan khawatir dengan kehidupan pekerjaan mereka setelah lulus kuliah dalam waktu dekat.

Rasa-rasanya, apabila seseorang tengah mengalami fase quarter life crisis ini dapat dikatakan sebagai sebuah keniscayaan, khususnya bagi para calon atau dan fresh graduate.

Kiranya agar fase ini tidak terasa sangat menyeramkan, maka meminimalisir fresh graduate syndrome dan quarter life crisis dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti:

Pertama, Selalu mendekatkan diri pada Tuhan.

Kedua, Menyibukkan diri dengan aktifitas yang bermanfaat dan dapat meningkatkan kompetensi diri.

Ketiga, Selalu mengasah kemampuan dan menambah wawasan untuk mempersiapkan dan membekali diri menghadapi tuntutan zaman yang semakin maju dan kompleks.

Keempat, Tidak mudah merasa panik dan melatih manajemen diri dalam mengatasi masalah.

Kelima, berteman dan berkumpul dengan teman seperjuangan dan saling memberi semangat.

Keenam, melatih keberanian dan bertanggung jawab dalam mencoba hal-hal baru.

Dan masih banyak lagi hal-hal yang bisa dilakukan untuk menjalani fase ini. Yang terpenting adalah adanya kemauan untuk belajar, belajar, dan belajar.

Kita perlu yakin bahwa fase ini pasti akan dapat terlewati meskipun dengan perjuangan yang luar biasa atau bahkan berdarah-darah. Keep Strong and You Can!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun