Mohon tunggu...
Fatih Romzy
Fatih Romzy Mohon Tunggu... Penulis

Penyuka Olahraga, Film, Musik dan Teknologi

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Ajal Milan di Tangan Cardinale dan RedBird Capital

8 Maret 2025   12:17 Diperbarui: 8 Maret 2025   14:35 1356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemilik AC Milan, Gerry Cardinale (Getty Images/Claudio Villa)

Belum genap tiga musim Milan merengkuh scudetto ke-19 mereka, yang mengakhiri dahaga gelar kasta tertinggi Italia, tim ini sudah terpuruk saja. Kekalahan melawan Lazio pada giornata ke-27 Serie A membuat tim besutan Sergio Conceciao lengser ke urutan 9. Posisi Milan kini bahkan lebih buruk dari Roma, yang sempat struggle di awal musim.

Kekecewaan para tifosi Milan tampaknya sudah teramat dalam. Karenanya, mereka sampai berani membuat gerakan protes dalam laga melawan Lazio. Teriakan-teriakan Curva Sud lantang dan kompak. Mereka meminta Gerry Cardinale yang duduk sebagai pemilik menjual Milan dan segera angkat kaki dari San Siro.

Faktanya, selepas akuisisi Milan dari tangan Elliott Management, RedBird menjalankan sejumlah keputusan kontroversial. Keputusan-keputusan ini pada akhirnya menuntun Milan pada ajalnya, cepat atau lambat. Seperti apa kehancuran Milan di tangan Cardinale dan sobat-sobat RedBird-nya?

Selamat Berkat Elliott Management

Berawal dari sebuah gagal bayar pemilik Milan sebelumnya Yonghong Li, gerbang masuknya Elliott Management menjadi pemilik Milan terbuka lebar. Pada 2018, Elliott mengambil alih Milan sebagai bentuk penyitaan aset karena Yonghong Li gagal membayar pinjaman sekitar 300 juta euro dari perusahaan investasi dan pendanaan asal Amerika Serikat tersebut.

Siapa sangka, akuisisi ini justru membuka lembaran baru buat Rossoneri. Visi Elliott yang bertekad membangkitkan Milan ternyata bukan sekadar omong kosong. Berdasarkan pondasi strategi yang tepat, Elliott mengubah Milan menjadi klub yang kembali meramaikan persaingan papan atas Italia.

Ivan Gazidis, sosok yang dibawa Elliott untuk me-rebuild Milan, secara terang-terangan mengatakan kalau Elliott merombak total apa yang ada di Milan. Kedatangan Gazidis, disusul Paolo Maldini dan Ricky Massara menjadi pondasi awal restrukturisasi Milan. Dari sana, Milan melakukan sejumlah perekrutan cerdas, dengan mengedepankan aspek finansial.

Investasi pada pemain-pemain muda seperti Theo Hernandez, Rafael Leao, Pierre Kalulu dan beberapa pemain lain menjadi kunci utama. Elliott juga mendatangkan beberapa pemain senior, seperti Olivier Giroud, bahkan hingga memulangkan Zlatan Ibrahimovic demi mengangkat mental para pemain muda.

Hasilnya, kombinasi tepat para pemain muda, plus pemain senior, ditambah manajemen yang terstruktur, Elliott membawa Milan kembali berjaya. Klub berjuluk I Diavolo Rosso merengkuh scudetto pertamanya dalam kurun 11 tahun pada musim 2021/2022. Keberhasilan ini tentu menjadi momen yang bersejarah, karena pada akhirnya, Milan kembali membawa kembali citra mereka sebagai salah satu klub paling disegani di Italia.

Bad Management RedBird

Selayaknya sebuah kisah romansa, hubungan antara Milan dan Elliott akhirnya selesai pada Agustus 2022. Elliott menjual Milan kepada Gery Cardinale dan RedBird Capital dengan nilai valuasi sekitar 1,2 miliar euro. Siapa sangka, walau Cardinale punya banyak pengalaman mengelola aset-aset di bidang olahraga, akuisisi Milan ini justru membunuh klub yang sudah dibangun Elliott sebelumnya.

Pemecatan Paolo Maldini dari jabatannya sebagai Direktur Teknik menjadi awal mula kehancuran Milan. Mantan bek legendaris Milan itu diberhentikan saat masa kontraknya masih tersisa sekitar satu tahun. Adanya bentrokan visi antara Maldini dan RedBird pimpinan Cardinale membuat perpisahan menjadi jalan yang paling memungkinkan buat keduanya.

Berawal dari pemecatan tersebut, periode kemunduran Milan mulai nampak. Stefano Pioli paling merasakan dampak ketiadaan Maldini. Pioli memang tidak mengatakan kalau dirinya tidak didukung. Tetapi apa yang terjadi dalam skuad Milan seolah menegaskan bahwa pelatih yang mengantar Milan meraih scudetto pada musim 2021/2022 itu tidak banyak dilibatkan dalam urusan transfer. Tidak seperti di era Maldini.

Penunjukan Paulo Fonseca sebagai suksesor Pioli menambah besar tanda tanya yang menyelimuti Milan selama ini. Pengangkatan Fonseca dinilai cuma buang-buang waktu dan percuma. Fans menilai Fonseca bukan pelatih yang punya kapasitas bagus untuk meningkatkan performa Milan pasca era Pioli.

Kekhawatiran Curva Sud menjadi kenyataan. Fonseca tidak bertahan lama, dan akhirnya dipecat oleh Milan pada akhir Desember 2024. Parahnya, pemecatan ini justru makin membongkar borok bad management RedBird. Ketika dicegat wartawan Sky Sports Italia, Fonseca bilang sendiri kalau dirinya sudah dipecat. Fans ramai-ramai menggeruduk manajemen, menyebut mereka tidak punya hormat pada Fonseca, terlepas pencapaiannya yang terbilang kurang ‘wah’ selama menangani Milan.

Beberapa laporan dari media Italia menyatakan bahwa kisruh sudah ada semenjak RedBird mengambil alih. Cardinale kerap berseteru dengan Maldini yang dianggap terlalu vokal menyatakan visinya. Para pelatih juga merasa tidak cocok dengan manajemen baru, karena mereka merasa tidak banyak dilibatkan dalam berbagai urusan, terutama urusan transfer.

Belum Bertobat

Penunjukkan Fonseca yang berbuah kegagalan, harusnya jadi cermin buat manajemen Milan melakukan evaluasi. Mereka harusnya menyadari kalau pendekatan yang mereka jalankan selama ini tidak sesuai jalur. Namun, Milan seolah belum bertobat. Kini, setelah pergantian pelatih ke Sergio Conceicao juga tidak banyak mengubah nasib, isu pemecatan kembali merebak.

Kekalahan melawan Lazio pada giornata ke-27 Serie A, Senin, 3 Maret 2025 mungkin menjadi penyebab utama rumor pemecatan Conceicao menyeruak. Milan tumbang 2-1, sekali lagi di pertandingan itu. Laga juga diwarnai insiden pengosongan Curva Sud selama 15 menit awal, di mana di tribun hanya terlihat spanduk besar bertuliskan, “Hanya untuk jerseynya”, dengan bahasa Italia tentunya.

Tidak dapat dipungkiri, sebagaimana pendahulunya, Sergio Conceicao juga tidak mencatatkan performa istimewa selama menukangi Milan. Rossoneri saat ini bahkan terjun bebas ke urutan 9 classifica. Sebuah posisi yang sangat tidak ideal, mengingat target tim di awal musim adalah paling tidak, menembus empat besar.

Namun, dari kacamata yang lebih luas, seperti yang dikeluhkan para fans, kehancuran Milan bukan karena Fonseca atau Conceicao, atau bahkan Pioli. Tiga pelatih ini hanyalah ‘kambing hitam’ atas buruknya pengelolaan tim di bawah RedBird-nya Cardinale.

Dimulai dari Fonseca, Milan sebetulnya sudah punya banyak kandidat yang lebih high profile. Antonio Conte, Max Allegri, Maurizio Sarri, hingga beberapa nama sempat dirumorkan menjadi kandidat pengganti Pioli. Namun, dari sekian kandidat, mereka memilih Fonseca yang rekam jejaknya bersama AS Roma saja bisa dibilang ‘medioker’. Lebih parah, Ibrahimovic bilang kalau Fonseca adalah pilihan terbaik buat Milan.

Di akhir tahun, Milan harus menjilat ludah sendiri, dengan memecat ‘pelatih pilihan terbaik’ mereka. Conceicao maju untuk menggantikan Fonseca. Namun, belum genap separuh musim memimpin, rumor pemecatan itu kembali muncul. Memang baru sebatas rumor. Tapi kalau sampai kejadian, maka dapat dipastikan kalau manajemen RedBird memang bermasalah.

Cara Pembenahan Milan

Sebagai sebuah perusahaan berlatar belakang keuangan, RedBird sejatinya membawa visi yang bagus. Mereka membeli Milan dengan mengusung misi efisiensi dan Data Driven ke dalam bisnis sepakbola Rossoneri ini. Namun, eksekusi dan implementasi RedBird sejauh ini bisa dikatakan ‘cacat’.

Cardinale mungkin berpengalaman di bidang olahraga. Tetapi yang ia tunjukkan di Milan justru bertentangan dengan fakta itu. Alih-alih membawa stabilitas, masa kepemimpinan Cardinale justru membawa bencana. Sejumlah bencana ini juga tidak muncul tiba-tiba, melainkan dari ketidakjelasan proyek yang ia bangun

Masalah yang kerap disoroti dari Milan adalah, tidak adanya kendali pada sosok-sosok pelatih mereka. Kebijakan-kebijakan transfer dibuat berdasarkan analisis semata, tanpa masukan dari pelatih yang merupakan orang lapangan. Pendekatan ini jauh berbeda dengan Elliott Management yang memasrahkan semua urusan pada Paolo Maldini, di mana sang mantan bek Milan itu memberi ruang berekspresi lebih untuk para pelatih.

Kita melihat di Inggris, FSG dan Liverpool adalah model bisnis yang cukup ideal untuk sebuah klub sepakbola. Di Liverpool, FSG mengombinasikan pendekatan tradisional ala Maldini, dengan pendekatan Data Driven yang relevan dengan zaman. Hasilnya bisa dilihat. Bahkan perekrutan pelatih sekalipun berjalan mulus, buah dari manajemen yang terarah.

Faktanya, FSG adalah perusahaan yang erat kaitannya dengan RedBird, dan RedBird seharusnya bisa belajar dari perusahaan yang mereka danai ini. Pengelolaan sebuah klub tidak bisa dijalankan hanya searah melalui data, seperti apa yang dilakukan RedBird. Diperlukan juga kolaborasi mendalam antara banyak divisi, mulai dari analis, pelatih, hingga manajer, seperti yang terjadi di FSG dan Liverpool.

Akhir kata, Milan hancur karena pengelolaan klub yang asal-asalan dan tidak jelas arahnya. Bagaimana cara memperbaikinya? Tentu dengan menerapkan strategi yang lebih jelas, dengan gambaran yang mungkin mirip-mirip dengan apa yang dilakukan FSG di Liverpool. Bagaimana menurutmu sendiri? Apakah RedBird adalah dalang utama yang patut disalahkan atas kehancuran Milan?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun