Mohon tunggu...
Fathin Amim Mufidah
Fathin Amim Mufidah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Pendidikan Islam Anak Usia Dini UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengupas Pandangan Masyarakat Mengenai Anak Berkebutuhan Khusus

11 Desember 2020   11:02 Diperbarui: 11 Desember 2020   11:08 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berbicara mengenai pendidikan anak usia dini, Ahmad Susanto dalam bukunya yang berjudul "Pendidikan Anak Usia Dini: (Konsep dan Teori", beliau menuliskan bahwa pendidikan anak usia dini adalah pendidikan yang diberikan pada anak usia dini yang berusia 0-6 tahun, yang dilaksanakan melalui pemberian berbagai macam ransangan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan baik itu jasmani maupun rohani agar anak memiliki kesiapan untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Dan melalui pendidikan ini, diharapkan anak-anak dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya yaitu meliputi perkembangan moral, agama, nilai-nilai fisik, sosial, emosional, bahasa, seni, dll. sesuai perkembangan. Dan tertulis juga pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional bahwa pendidikan di Indonesia diselenggarakan secara demokratis dan adil serta tidak adanya diskriminatif dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Sudah terbukti bukan, bahwa seharusnya setiap warga negara Indonesia mempunyai hak masing-masing untuk memperoleh pendidikan yang baik dan berkualitas juga. Tidak peduli apakah orang tersebut berasal dari strata ekonomi menengah atas, atau menengah kebawah, orang yang berfisik sempurna maupun yang memiliki kelainan fisik, dll. Setiap orang berhak akan pendidikan di negara ini.

Tidak terkecuali juga untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Jika dahulu orang tua dengan  anak-anak berkebutuhan khusus ini lebih memilih untuk memasukkan anak-anak mereka ke sekolah khusus, maka saat ini semakin banyak orang tua yang berkesempatan memasukkan anak-anak tersebut ke sekolah reguler seperti anak lainnya. Karena menurut mereka, dengan memasukkan anak-anak itu ke sekolah biasa, akan semakin meningkatkan kemampuan sosial mereka. Jadi, saat ini juga banyak sekolah umum yang menerima anak-anak berkebutuhan khusus.

Meskipun tidak semua sekolah menyelipkan pendidikan inklusi di dalamnya, akan tetapi sudah banyak tenaga pendidik yang cukup memahami bagaimana mengatasi dan mengajar anak-anak tersebut. Jika pada artikel sebelumnya saya membahas mengenai seberapa pentingnya pendidikan inklusi di kalangan anak usia dini dan sekolah dasar, maka kali ini saya akan membahas mengenai pandangan masyarakat terhadap pendidikan inklusi di PAUD. Atau bahkan bagaimana pandangan masyarakat terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Serta bagaimana meluruskan stereotip orang-orang awam yang menganggap bahwa ABK adalah "sekadar manusia cacat fisik maupun mental" yang tidak bisa apa-apa.

Dapat kita lihat saat ini, bahwa masih cukup banyak orang-orang yang menyepelekan dan menganggap rendah pada anak berkebutuhan khusus. Bahkan tak sedikit juga orang tua yang seperti keberatan jika anak-anaknya ditempatkan di kelas yang sama dengan anak yang memiliki kebutuhan khusus. 

Seakan-akan anak berkebutuhan khusus merupakan sampah masyarakat yang harus dihindari. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan di dalam pendidikan di sekolah sebuah konsep yang di dalamnya mencakup nilai-nilai toleransi. Dengan adanya anak berkebutuhan khusus di suatu kelas reguler, diharapkan dapat membuat orang lain kembali menjunjung tinggi dan menerapkan sikap toleransi.

Konsep pendidikan tersebut, mencakup layanan pendidikan yang diberikan kepada anak berkebutuhan khusus yang dididik guna mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Yang juga, di dalamnya seorang guru atau tenaga pendidik berkewajiban untuk berusaha melakukan suatu pendekatan yang dapat mengubah atau mentransformasi sistem pendidikan di sekolah dengan cara meniadakan hambatan yang bisa membuat anak terhambat atau terbatasi untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan.

Ada berbagai macam pandangan masyarakat mengenai orang atau anak-anak berkebutuhan khusus, di antaranya adakala seseorang memandang kecacatan pada orang lain sebagai bentuk dosa atau kesialan yang dilakukan oleh individu yang bersangkutan, ataupun orang tua atau keturunannya. Sehingga kecacatan sering dipandang sebagai aib oleh si penyandang cacat itu sendiri, orang tua, maupun orang di sekitarnya.

Ada juga yang menatap anak-anak berkebutuhan khusus dan anak-anak penyandang cacat sebagai orang yang harus dikasihani, sehingga cukup banyak kita lihat di kalangan masyarakat yang memberdayakan ornag-orang ini dan merawat dengan memberikan berbagai macam keterampilan tertentu kepada mereka.

Baik, mari kita lihat di sekeliling kita saja terlebih dahulu. Misalnya di daerah tempat saya tinggal. Saya dapati masih ada saja orang yang melihat anak-anak ini sebagai individu yang terbelakang, baik itu tentang fisik maupun psikisnya. Sehingga, persepsi yang semacam itu dapat membuat anak-anak berkebutuhan khusus atau juga anak difabel dianggap sebagai anak yang selalu memiliki kekurangan dan keterbelakangan dalam berbagai hal dibandingkan dengan anak normal. Bahkan di kalangan teman sebayanya, masih ada saja yang menganggap mereka sebagai bahan candaan, juga sering kali mendapat diskriminasi di lingkungannya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun