BEEEP... BEEEP...
Suara klakson kereta listrik menggema di kejauhan, memecah keheningan pagi yang masih menggigil. Jam baru menunjukkan pukul enam. Jalanan masih lengang. Burung-burung belum sempat bernyanyi, dan matahari belum sepenuhnya naik dari balik deretan rumah susun.
Nadira, siswi kelas enam SD Harapan Bangsa, sudah duduk di bangku semen depan gerbang sekolah. Seragam putih merahnya masih rapi, rambutnya dikuncir dua dengan pita lusuh. Di tangannya tergenggam selembar kertas yang dilipat empat. Sesekali ia menengok ke arah pintu sekolah yang masih terkunci rapat. Satpam sekolah, Pak Hendra, belum tampak. Satu-satunya suara yang menemaninya adalah denting kereta dan desau angin pagi yang dingin.
Dibukanya kembali surat yang ia tulis semalam. Ia ingin menjadi yang pertama menyerahkannya pada Bu Nila, guru kelasnya. Bukan karena ingin menang lomba. Ia hanya ingin surat itu sampai. Sampai entah ke mana. Tapi semoga ke tempat yang benar.
***
Kepada Bapak Presiden yang Terhormat,
Nama saya Nadira. Saya berusia dua belas tahun. Saya tinggal di pinggiran Jakarta, di daerah tempat suara kereta lebih sering terdengar dibanding suara tawa.
Dulu saya punya mimpi besar. Saya ingin menjadi orang penting. Saya ingin membangun rumah besar untuk Mama dan membelikan motor baru untuk Ayah. Saya ingin sekolah tinggi, kuliah di kampus besar seperti Universitas Indonesia atau ITB, seperti yang saya lihat di TV.
Tapi sekarang, saya tidak yakin saya masih punya mimpi sebesar itu.
Beberapa bulan lalu, kampung kami kedatangan sekelompok mahasiswa yang katanya sedang KKN. Mereka mengenakan jaket almamater, membawa laptop, kamera, dan ponsel canggih. Mereka datang seperti penyelamat, membawa semangat baru. Awalnya kami semua senang. Anak-anak lain heboh. Saya juga. Mereka tampak keren. Pintar. Modern.