Pasca-9/11, AS invasi untuk usir Taliban. Bangun tentara Afghan, tapi kolaps 2021 karena korupsi dan ketergantungan AS.Â
Studi dari US Army War College bilang kegagalan karena AS bangun pasukan yang "mirip Amerika" tapi nggak adaptasi ke konteks lokal---"nasionalisme dangkal".Â
Paralel ke Gaza: Jika rekonstruksi bergantung eksternal (AS/Israel), bisa kolaps saat dukungan hilang.
Pola umum dari JSTOR dan Atlantic Council: Intervensi AS sering hegemonik (bukan murni demokrasi), picu polarisasi, dan tinggalkan "failed states" dengan konflik internal.di Gaza, Trump janji "rebuild" tapi tanpa detail, bisa ulang pola ini.Â
Konteks Politik Palestina -- Dinamika Hamas vs PA/Fatah
Palestina punya sejarah fragmentasi internal sejak Oslo Accords 1993.Â
Hamas (Islamis, radikal anti-Israel) kontrol Gaza sejak 2007 setelah "perang saudara mini" lawan Fatah (sekuler, lebih moderat) di bawah PA pimpinan Mahmoud Abbas (Abu Mazen).Â
"Shabab" sering merujuk pemuda militan Fatah atau Al-Aqsa Martyrs' Brigades, yang dituduh "dangkal nasionalismenya" karena koordinasi keamanan dengan Israel---mirip "kaki tangan penjajah".
Analisis dari The New Yorker: Pasca-perang, Hamas lemah militer (pemimpinnya dibunuh, rekrutmen turun), tapi masih resilient secara politik.Â
Fatah ingin peran besar di Gaza pasca-ceasefire, tapi ditolak faksi Palestina karena dianggap "foreign guardianship" atau proxy asing.Â
Risiko: Bentrokan atas kontrol bantuan, wilayah, dan legitimasi---mirip perpecahan Irak antar-sekte.