Untuk menghindari perang saudara, diperlukan rekonsiliasi Palestina (Hamas-PA), dukungan internasional netral (bukan hegemoni AS), dan fokus ke institusi nasional---bukan "nasionalisme dangkal"
Dalam studi konflik internasional, intervensi asing sering dianalisis melalui lensa "post-conflict reconstruction" atau rekonstruksi pasca-konflik.Â
Teori seperti "failed state syndrome" (dari Robert Rotberg) menyebutkan bahwa negara rapuh pasca-intervensi rentan ke vakum kekuasaan, yang diisi oleh milisi rival, korupsi, atau proxy asing---akhirnya memicu perang saudara.Â
Ceasefire Gaza 2025 mirip: Ini akhir perang eksternal (Israel-Hamas), tapi bisa jadi katalisator konflik internal jika nggak ada governance kuat.Â
Kekhawatiran soal "kehancuran seperti Libya atau Irak" pas banget, karena sejarah menunjukkan pola serupa di Timur Tengah pasca-intervensi AS.Â
Tujuannya di sini: Pahami risiko agar bisa mengantisipasi, bukan prediksi doomsday.
Latar Belakang Historis -- Intervensi AS dan Jebakan Perang Saudara
Untuk paham risiko Gaza, kita harus flashback ke intervensi AS di Timur Tengah.Â
AS sering masuk dengan niat "demokratisasi" atau "stabilitas", tapi hasilnya sering chaos karena kurangnya rencana jangka panjang.Â
Ini didukung analisis dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang bilang intervensi AS di Afghanistan, Irak, Suriah, Libya, dan Yaman fokus terlalu sempit ke militer dan counter-terrorism, tapi abaikan faktor sosial-ekonomi.Â
Irak (2003-2011): Â