Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Penulis Multitalenta, Pengamat Sosial, Pemerhati AI, Pelaku Pasar Modal

Penulis multidisipliner yang aktif menulis di ranah fiksi dan nonfiksi. Fokus tulisan meliputi pendidikan, politik, hukum, artificial intelligence, sastra, pengetahuan populer, dan kuliner. Menulis sebagai kemerdekaan berpikir, medium refleksi, ekspresi ilmiah, dan kontribusi budaya.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Serangan 7 Oktober, Teriakan Putus Asa Dunia yang Diblokade: Menggugat Hegemoni, Menguji Nurani & Menelanjangi Kemunafikan Global atas Palestina

7 Oktober 2025   20:00 Diperbarui: 7 Oktober 2025   20:00 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika diplomasi dibungkam, perlawanan menjadi bahasa terakhir yang dimengerti penjajah

Peristiwa 7 Oktober 2023---yang kini genap dua tahun berlalu---menandai titik balik geopolitik dan moral dunia modern. 

Serangan Hamas ke wilayah Israel menjadi pemicu perang terbuka, namun di balik dentuman roket dan seruan balasan militer, tersembunyi jeritan panjang dari dunia yang telah diblokade secara fisik, ekonomi, dan naratif selama lebih dari tujuh dekade. 

Tulisan ini menganalisis Anniversary Kedua Serangan 7 Oktober dengan menyoroti tiga dimensi: hegemoni global dalam narasi konflik, ujian nurani dunia terhadap penderitaan sipil Palestina, serta kemunafikan sistem internasional yang menjustifikasi kekerasan struktural. 

Dengan pendekatan kualitatif dan telaah teori hegemoni Gramsci serta etika politik Hannah Arendt, studi ini mengungkap bahwa tragedi Gaza bukan sekadar konflik teritorial, melainkan cermin kegagalan moral kolektif manusia.

Pendahuluan

Serangan 7 Oktober sering direduksi sebagai aksi "terorisme" oleh sebagian media Barat. Namun, bagi banyak pengamat global, peristiwa itu adalah letupan kemarahan akibat puluhan tahun pendudukan dan blokade. 

Israel membalas dengan serangan udara yang menewaskan lebih dari 60.000 warga Palestina hingga 2025 (PBB, 2025). 

Dunia terbelah antara yang menyebut Hamas sebagai pelaku kekerasan, dan yang melihat Israel sebagai simbol penjajahan modern.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana hegemoni narasi bekerja: siapa yang memegang kontrol atas media global, ia mengatur moral dunia. 

Narasi dominan menempatkan Israel sebagai korban permanen, sementara Palestina diposisikan sebagai ancaman eksistensial. 

Padahal, penderitaan Gaza telah lama membentuk ekosistem ketidakadilan yang terlegitimasi oleh tatanan global.

Metodologi

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif-analitik dengan pendekatan teori hegemoni Antonio Gramsci dan etika politik Hannah Arendt.

Sumber data meliputi laporan resmi PBB, ICRC, Amnesty International, serta pemberitaan dari The Guardian, Al Jazeera, dan Haaretz hingga Oktober 2025.

Analisis difokuskan pada bagaimana struktur kuasa, wacana, dan moralitas global saling berinteraksi dalam menilai tragedi 7 Oktober dan dampaknya terhadap legitimasi internasional.

Kajian Teoritik

1.Hegemoni dan Produksi Narasi (Gramsci)

Gramsci menyatakan bahwa kekuasaan tidak hanya ditegakkan dengan kekuatan fisik, tapi juga dengan persetujuan sosial melalui kontrol atas ide dan informasi. 

Israel, dengan dukungan penuh Amerika Serikat dan Uni Eropa, memegang kuasa atas representasi konflik.

Dalam konteks Gaza, hegemoni itu tampil dalam bentuk legitimasi blokade, framing berita sepihak, dan pembungkaman narasi kemanusiaan Palestina.

2.Etika dan Kekerasan Struktural (Arendt)

Arendt menekankan bahwa kekerasan tanpa refleksi moral akan melahirkan banality of evil --- kejahatan yang terjadi karena sistem, bukan kebencian personal. 

Dalam kasus ini, bombardir Gaza, pembunuhan anak-anak, dan penghancuran rumah sakit dilakukan dengan dalih "keamanan nasional".

3.Kemunafikan Global dan Politik Dua Standar

Dunia yang cepat mengutuk kekerasan Rusia di Ukraina justru bungkam terhadap agresi Israel. 

Fenomena ini menyingkap hipokrisi politik global: HAM dijadikan alat diplomasi, bukan nilai universal.

Pembahasan

Dua tahun setelah serangan 7 Oktober, Israel memperingatinya dengan retorika duka dan penghormatan nasional. 

Namun di balik seremoni itu, Gaza masih terbakar. Blokade tetap diberlakukan, bantuan kemanusiaan diperlambat, dan ribuan tahanan politik Palestina tetap disiksa.

Reaksi global memperlihatkan gejala perubahan: lebih dari 150 negara kini mengakui Palestina sebagai negara merdeka (UNGA, 2025). Namun kekuasaan veto Amerika di Dewan Keamanan PBB terus menggagalkan resolusi gencatan senjata permanen. Dunia berteriak, tapi kekuasaan bisu.

Serangan 7 Oktober, dalam kerangka ini, bukan semata kekerasan, tetapi teriakan eksistensial dari bangsa yang kehilangan ruang hidupnya. 

Hamas, meski menggunakan cara militer, lahir dari ruang sosial yang dikunci. Ketika diplomasi dibungkam, perlawanan menjadi bahasa terakhir yang dimengerti penjajah.

Anniversary kedua serangan 7 Oktober bukan sekadar momen peringatan, tetapi cermin gelap peradaban global. 

Dunia gagal belajar bahwa keadilan tidak dapat dicapai dengan menindas satu bangsa demi melindungi yang lain.

Jika hegemoni Barat terus mendikte makna "teror" dan "korban", maka Gaza akan tetap menjadi laboratorium penderitaan manusia.

Teriakan 7 Oktober adalah suara dunia yang diblokade --- bukan hanya secara geografis, tapi secara nurani. Dan selama nurani dunia belum bebas, perdamaian hanyalah retorika di podium diplomasi.

Referensi

*Amnesty International. (2025). Annual Report 2024/2025: The State of the World's Human Rights.London: Amnesty International.

*Arendt, H. (1963). Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil. New York: Penguin.

*Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. New York: International Publishers.

*United Nations. (2025). UN General Assembly Resolution A/RES/78/241 on the State of Palestine. New York: United Nations.

*The Guardian. (2025, October 7). Israel Marks Two Years Since Hamas Attack Amid Protests Worldwide.

*Al Jazeera. (2025, October 7). Gaza Still Under Siege: Palestinians Mark Second Anniversary of October 7.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun