Jika snapback dianggap dipakai sebagai senjata politik, bukan hanya keamanan, maka kepercayaan terhadap mekanisme non-proliferasi akan melemah
Sejak pemicu perjanjian nuklir JCPOA (2015), mekanisme snapback merupakan instrumen internal PBB yang memungkinkan reimposition (pengaktifan kembali) sanksi bila suatu pihak dianggap melanggar komitmennya.Â
Kasus Iran di September 2025 memperlihatkan bagaimana snapback digunakan sebagai alat tekanan diplomatik, sekaligus menjadi titik konflik antara kepentingan keamanan internasional dan kedaulatan nasional.Â
Tulisan ini membahas latar kondisi yang memicu snapback, respon Iran dan reaksi internasional (termasuk IAEA), serta implikasi bagi stabilitas global.
Pendahuluan
*Latar belakang JCPOA & Resolusi UNSC 2231
Perjanjian nuklir Iran 2015 (JCPOA) diresmikan lewat Resolusi Dewan Keamanan PBB 2231, yang di antaranya menetapkan bahwa jika Iran dianggap melanggar komitmennya, negara-negara lain bisa mengaktifkan kembali sanksi-sanksi yang dulu dicabut. Mekanisme ini dikenal sebagai snapback. Â
*Kondisi terkini hingga September 2025
Iran dikabarkan telah menghambat akses IAEA ke beberapa situs nuklirnya, mengalami insiden serangan udara terhadap fasilitas Natanz, Fordow, dan Isfahan, serta terjadi peningkatan stok uranium yang diperkirakan mendekati tingkat kemurnian tinggi. Â
Negara-negara Eropa (Inggris, Prancis, Jerman --- dikenal sebagai "E3") memicu proses snapback sejak akhir Agustus 2025, menuntut Iran memulihkan kerjasama penuh dengan IAEA, melaporkan stok material nuklirnya, dan membuka situs-situs nuklir untuk inspeksi tanpa kondisi yang rumit. Â
Metodologi