Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Penulis Multitalenta, Pengamat Sosial, Pemerhati AI, Pelaku Pasar Modal

Penulis multidisipliner yang aktif menulis di ranah fiksi dan nonfiksi. Fokus tulisan meliputi pendidikan, politik, hukum, artificial intelligence, sastra, pengetahuan populer, dan kuliner. Menulis sebagai kemerdekaan berpikir, medium refleksi, ekspresi ilmiah, dan kontribusi budaya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sakau Politik: Patologi Demokrasi Pasca Pemilu dan Krisis Substansi Pembangunan

31 Juli 2025   06:51 Diperbarui: 31 Juli 2025   06:51 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi politik (Sumber gambar: Meta AI)

Di tengah riuhnya siapa berkuasa dan siapa kalah, penting bagi kita untuk tetap bertanya: Apa yang sudah mereka lakukan untuk bumi, rakyat, dan masa depan kita?

Pemilihan umum adalah instrumen demokrasi yang sejatinya menjadi sarana korektif terhadap kekuasaan. 

Namun, dalam dinamika politik kontemporer Indonesia pasca pemilu 2024, gejala yang muncul justru menyerupai kondisi kecanduan---yang oleh sebagian pengamat sosial disebut sebagai fenomena "sakau politik". 

Ibarat pecandu yang kehilangan dosisnya, masyarakat dan elit politik mengalami keterikatan emosional yang intens pada narasi kompetisi kekuasaan, melupakan substansi utama demokrasi: pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat.

SAKAU POLITIK

Istilah "sakau" berasal dari bahasa gaul yang merujuk pada gejala kehilangan atau ketergantungan akut terhadap zat adiktif. 

Dalam konteks politik, "sakau politik" merujuk pada fenomena sosial ketika ruang publik dipenuhi obsesif oleh wacana siapa menang, siapa kalah, siapa koalisi, siapa oposisi, tanpa melanjutkan pada diskursus apa yang akan dilakukan untuk rakyat?

Fenomena ini bisa dilihat dari:

*Ramainya media dan media sosial membahas posisi menteri, reshuffle kabinet, dan konfigurasi kekuasaan.

*Menurunnya perhatian publik terhadap isu strategis seperti defisit BPJS, ancaman krisis air, BUMN merugi, atau perubahan iklim.

*Meluasnya konflik horizontal antar pendukung kandidat bahkan setelah pemilu selesai.

ANALISIS KRITIS: PENYIMPANGAN DEMOKRASI

Fenomena ini menandakan pergeseran demokrasi dari democratic substance menuju democratic spectacle---sebagaimana dikemukakan oleh Guy Debord dalam bukunya The Society of the Spectacle (1967). 

Demokrasi tidak lagi menjadi forum deliberatif untuk menyelesaikan persoalan rakyat, tetapi berubah menjadi pertunjukan sinetron elit yang menggiring rakyat menjadi penonton pasif yang gaduh.

Habermas (1981) menyebut bahwa ketika ruang publik dikuasai oleh strategic action (manipulasi opini demi kekuasaan), maka communicative action (diskusi publik yang rasional dan etis) akan lumpuh.

Akibatnya:

*Kebijakan publik kehilangan legitimasi moral.

*Birokrasi terbelah mengikuti kutub kekuasaan.

*Media menjadi alat perang narasi, bukan edukasi kebijakan.

KORBAN UTAMA: PEMBANGUNAN SUBSTANSIAL

Saat rakyat sibuk bertengkar soal figur, negara kehilangan fokus pada sektor-sektor vital:

*BUMN seperti Garuda, PLN, dan Krakatau Steel sedang merugi, tapi minim sorotan.

*Krisis Air Bersih melanda NTT dan NTB, sementara publik lebih tertarik pada drama pertemuan elite.

*Pelayanan Publik seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi stagnan, tetapi minim tekanan publik untuk reformasi.

Ironisnya, para pejabat lebih terpacu menyusun narasi citra daripada rencana kerja, sebab ruang publik menuntut sensasi, bukan solusi.

PSIKOLOGI KOLEKTIF DAN ALGORITMA PLATFORM

Rasa "sakau politik" ini diperkuat oleh algoritma media sosial yang mendorong keterlibatan emosional ekstrem (outrage, fanatisme, idolatri). 

Ini mirip dengan filter bubble yang dijelaskan oleh Eli Pariser (2011): ketika publik hanya terpapar informasi yang memperkuat kepercayaan mereka sendiri, bukan memperluas wawasan kolektif.

JALAN KELUAR: ETIKA POLITIK & REHABILITASI PUBLIK

Menghadapi sakau politik, diperlukan rehabilitasi publik, yaitu:

1.Pendidikan politik substantif sejak dini: rakyat harus memahami bahwa demokrasi bukan hanya tentang memilih, tapi juga tentang mengawasi dan menuntut hasil kerja.

2.Reformasi media sosial dan media massa: menghentikan politik sensasi dan menggantinya dengan jurnalistik pembangunan.

3.Kepemimpinan yang visioner: Pemimpin harus mampu memindahkan fokus publik dari konflik ke kinerja.

Fenomena "sakau politik" adalah alarm bahwa demokrasi kita sedang demam, bukan dalam tubuh rakyat, tetapi dalam ruang pikirannya. 

Demokrasi tidak akan sehat selama ia hanya menjadi panggung ego elit dan tontonan publik. Ia akan pulih ketika substansi kembali mengalahkan sensasi.

Karena itu, di tengah riuhnya siapa berkuasa dan siapa kalah, penting bagi kita untuk tetap bertanya: Apa yang sudah mereka lakukan untuk bumi, rakyat, dan masa depan kita?

REFERENSI

  • Debord, G. (1967). The Society of the Spectacle.
  • Habermas, J. (1981). The Theory of Communicative Action.
  • Pariser, E. (2011). The Filter Bubble: What the Internet is Hiding from You.
  • Insight Kontan. (2025). Sakau Politik dan Ketergantungan pada Demokrasi yang Menyimpang.
  • Kompas.id, RMOL.id, Disway.id, Polkam.go.id, (2025). Berbagai laporan politik Indonesia pasca Pemilu 2024--2025.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun