Suara rakyat harus tetap lebih keras daripada bisikan algoritma. Sebab dalam demokrasi kita sejati, bukan data yang berdaulat---tapi manusia
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, politik tak lagi hanya bertumpu pada kampanye fisik, baliho, dan debat di layar kaca.Â
Dunia politik kini bergerak cepat menuju ruang digital, di mana kecerdasan buatan (AI) dan algoritma prediktif memainkan peran besar dalam membentuk opini publik, mengarahkan perilaku pemilih, bahkan memengaruhi hasil pemilu.
Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, bukan pengecualian.Â
Dengan populasi muda yang sangat aktif di media sosial dan penggunaan internet yang tinggi, Indonesia menjadi "ladang emas" bagi operasi digital-politik.Â
Namun, seiring dengan potensi besar ini, muncul pula ancaman laten:Â manipulasi masif terhadap demokrasi melalui teknologi yang tak kasat mata.
AI dan Microtargeting Politik
Microtargeting adalah strategi di mana kampanye politik mengelompokkan pemilih berdasarkan data perilaku dan preferensi mereka, lalu menyasar mereka dengan pesan yang disesuaikan.
Dengan bantuan AI:
- Pemilih dikategorikan berdasarkan aktivitas digital (like, comment, share, retweet).
- Konten politik kemudian disebar secara terarah --- misalnya, pemilih religius akan disasar dengan isu agama, sementara pemilih muda lebih diberi konten soal pekerjaan dan gaya hidup.