Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Freelancer - Pelaku Pasar Modal, Pengamat Pendidikan, Jurnalis, Blogger, Writer, Owner International Magazine

Menulis sebagai sebuah Kebahagiaan dan Kepuasan, bukan Materi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tips Mencegah Perilaku Bully Sejak Dini

23 Juli 2022   23:20 Diperbarui: 23 Juli 2022   23:53 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak dibuli (pic: tribunnewswiki.com)

Anak-anak yang suka membuli biasanya terlahir dari orangtua yang dingin, kurang memahami psikologis anak, memiliki kecenderungan mengancam dan menekan anaknya dengan kekerasan

Miris! Antara kaget, sedih, tercenung, dan berduka, mencermati berita tewasya bocah berusia 11 tahun akibat dirundung teman-teman sepermainannya. Yang lebih biadab lagi, ternyata sebelum tewas dipaksa beradegan cabul dengan seekor kucing. 

Berbagai pertanyaan terjadi, mengapa hal tersebut dapat terjadi? Mengapa tak ada upaya pencegahan sebelumnya sehingga tak akan terjadi kejadian miris seperti itu? Apa yang salah dengan bangsa ini, kenapa kecenderungan degradasi moral tidak hanya terjadi pada yang dewasa saja, namun kecenderungannya juga telah melanda generasi penerus yang seharusnya berperilaku luhur.

Anak-anak adalah peniru ulung

Beragam kejadian pada bangsa kita sebenarnya telah lama menjadi tontonan mata generasi muda, seperti penembakan enam laskar FPI beberapa waktu lalu yang kemudian pengadilan membebaskan para penembaknya, hingga kasus korupsi, yang meringankan tuntutan hukuman terdakwanya, dan beragam kejadian lainnya. Seakan menunjukkan sedemikian mudahnya para pelanggar hukum melepaskan diri dari jeratan hukum. 

Contoh-contoh kasus di atas sedikit banyak mempengaruhi memori dan pengalaman generasi muda yang seharusnya menjadi penerus penegakan moral negeri ini. Sedemikian mudahnya menggampangkan sebuah kesalahan akan membuat generasi muda juga menggampangkan persoalan yang sudah nyata salah dan melanggar norma. Sehingga memandang pelanggaran norma sebagai suatu hal remeh yang bisa ditawar kebenarannya.

Mengapa perundungan kerap terjadi, sebetulnya juga tak lepas dari contoh-contoh kejadian yang mereka tonton di media massa, juga contoh-contoh kelakuan dari panutan publik, selebritas yang ada di media sosial. Jangankan yang masih bocah, terkadang sudah dewasa pun juga suka latah meniru. Kalau yang sudah dewasa sedemikian latah, apatah lagi yang masih bocah, beragam kejadian pasti melekat erat pada alam bawah sadar mereka.

Menimbulkan pertanyaan, apa hubungannya dengan peristiwa pembulian bocah 11 tahun? Inti masalahanya adalah kenapa bisa terjadi pembulian alias perundungan, apalagi pelakunya yang notabene adalah para bocah juga.

Sebagaimana kita ketahui, anak-anak adalah peniru yang ulung, mereka akan dengan sangat mudah meniru segala macam perilakun dan kejadian disekitarnya. Jika pun peristiwa yang dia tiru tidak pernah terjadi di lingkungan sekitarnya, boleh jadi mereka memiliki imitasi peristiwa dari tempat atau media lain, semisal pemberitaan di layar kaya, media sosial, dan segala hal yang bersumber dari dunia maya. Dari sinilah sumber imitasi berlangsung.

Lalu mengapa mereka melakukan imitasi perilaku tersebut, padahal menurut kita perbuatan tersebut melanggar norma-norma dan melanggar batas kepatutan? Boleh jadi karena usia mereka suka segala sesuatu yang berbau tantangan, pelanggaran adalah tantangan. Dan boleh jadi juga  mereka tidak tahu, tidak paham, tidak memiliki empati, karena orangtua dan lingkungan tempatnya dibesarkan tidak pernah mengajarkan hal tersebut. 

Tips mencegah perilaku membuli

Dengan demikian berarti, perundungan alias pembullian sebetulnya bisa dicegah sejak dini sehingga tidak memakan korban. Caranya adalah dengan peran aktif orangtua, guru, tetangga, dan lingkungan sekitarnya untuk menanamkan pada anak tentang:

Norma Agama

Tidak ada satu agama pun yang mengajarkan pembulian, sebab buli adalah pelanggaran hak manusia sebagai hamba Tuhan. Jangankan membuli, sekedar mengerjai saja sudah merupakan dosa, misal menyembunyikan barang seseorang agar dia cemas dan takut, membuat prank dan mengejutkan orang lain, jelas dilarang dalam agama. 

Meskipun tujuannya lucu lucuan, Tuhan maha tahu bahwa hal itu dapat berakibat buruk ke depannya, karena itu melarangnya. Ternyata memang banyak imbas kejadian dari hal yang dilarang Tuhan, misal ketika yang dikerjai, atau kena prank, mengidap penyakit jantung, ataupun lemah mental, maka akan berdampak buruk terhadap keadaannya, bahkan bisa berujung pada kematian. 

Ternyata Tuhan Maha tahu, hanya manusia yang sok tahu, sehingga kadang mencak-mencak jika hal  tersebut dilarang dengan sifat sok tahunya yang melebihi Tuhan.

Jika mengerjai atau memprank orang saja dilarang Tuhan demi keselamatan orang bersangkutan, apa lagi membulli. Membulli jelas lebih berdampak buruk, sebab  menyakiti jiwa, raga, hati, dan perasaan orang lain.

Apabika anak-anak sejak dini diajarkan cara menghormati dan empati terhadap orang lain, maka tidak akan terjadi pembulian, sebab si anak akan berpikir jika dia membuli oran lain, bagaimana bila justru yang terjadi sebaliknya, kalau dia yang dibuli, atau keluarganya.

Dengan pola pikir ketaatan aturan agama dan merasa bahwa Tuhan maha melihat perilakunya, maka anak akan berpikir seribu kali jika ingin melakukan pembulian, sebab membayangkan seandainya dia berada dalam posisi orang yang dibuli serta hukuman Tuhan bila melanggarnya.

Norma kesopanan

Apabila mulai kecil anak telah diperkenalkan pada hal-hal yang tahu malu, tentu dia akan berpikir panjang sebelum melakukan sesuatu yang menyebabkan malu. Memang  bukan hal yang baik bila anak terlalu pemalu, namun juga sangat tidak baik jika mempunyai anak yang tidak tahu malu.

Demikian juga dengan perbuatan membulli, jika dia tahu bahwa hal tersebut perbuatan yang memalukan, tidak etis, maka dia akan merasa malu bila harus melakukannya, sehingga tak jadi melakukanya karena adanya beban moral.

Anak akan memiliki pola pemikiran jangka panjang, bahwa bila dia melakukan perundungan, maka yang akan menanggung malu bukan hanya dia, melainkan juga seluruh orang yang dekat dengannya, terutama orangtua. Orangtua macam apa yang melahirkan anak-anak pembuli? 

 Disini terlihat pentingnya pemahaman anak agar bisa membedakan tentang perbuatan sopan dan yang tidak sopan. Anak akan berpikir, benarkah membulli itu sopan?

Norma kesusilaan 

Anak diajarkan segala sesuatu dengan jujur, bukan muna alias pura pura. Biasaya anak-anak pembuli dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kepura-puraan demi kepentingan tertentu. Mungkin dia di rumah dididik dengan pola asuh kekerasan, orangtua yang mengingnkan segalanya serba beres di depan mata, serta adanya  hukuman fisik menyakiti bila hal yang diinginkan tidak beres. 

Akibatnya anak akan melakukan yang terlihat serba baik dan manis di depan oranguanya demi keselamatannya, namun akan berubah masa bodo dan tak peduli bila orangtua tak disisinya.

Contoh perilaku orangtua akan sangat mempengaruhi kepribadian anak. Ketika ayahnya suka mengancam ibunya di rumah, atau ibunya suka membentak dan mengancam sang ayah, maka secara tidak langsung anak sejak dini diajarkan cara membuli. Akan tertanam dalam alam bawah sadarnya, bahwa siapa kuat dia yang akan menang, sedangkan yang lemah akan kalah. 

Hal tersebut akan terpatri dalam kehidupan anak, sehingga tak mengherankan bila  kemudian menempuh cara menindas yang lemah dengan cara membuli. Sebab disitulah dia memperoleh kepuasan dan pengakuan, sebagaimana contoh puasnya sang ayah atau ibu ketika memenangkan pertengkaran di rumah dengan menghancurkan seisi rumah. Sebuah contoh buruk yang berasal dari rumah.

Seandainya anak diajarkan norma kesusilaan sejak dini, maka saat ada keinginan untuk melakukan perbuatan tercela, secara tiba-tiba nuraninya akan berbisik melarang perbuatan tersebut. 

Namun jika contoh dari rumah sudah tidak baik, dan terjadi berulang kali, tersimpan kuat dalam memori otak alam bawah sadar anak, maka lama kelamaan hati nuraninya akan tumpul, tidak akan dapat lagi membedakan apakah sebuah perbuatan benar atau salah, bahkan yang salah tak terlihat salah lagi sebab sudah terbiasa melakukannya.Ingat peribahasa alah bisa karena biasa.

Norma hukum

Perlunya orangtua memperkenalkan tentang aturan-aturan hukum sejak dini kepada anak, agar kelak anak terbiasa hidup dalam peraturan, tidak liar dan primitif.

Memperkenalkan anak pada peraturan dan hukum, bukan berarti anak diperlakukam keras, kasar, atau dihukum setiap hari, apalagi bila hukumannya sangat menyiksa dan  melanggar hak-haknya.

Memperkenalkan aturan hukum pada anak haruslah secara bijak dan penuh kelembutan, dengan prinsip bahwa bila anak tetap dalam koridor maka akan diberi reward, serta pemberian sanksi bila melanggar. 

Reward bukan berarti hanya dalam bentuk materi saja, namun juga verbal, seperti pujian. Sudah selayaknya memperkenalkan hukum adalah berdasar hati nurani, sebab hal tersebut merupakan pengenalan hukum secara efektif dan berhasil guna. Ketika anak melanggar peraturan, maka dia akan merasa tidak enak, sebab hati nuraninya terus membisikkan pelanggaran tersebut.

Jika anak tak pernah diperkenalkan dengan norma hukum beserta sanksinya, maka dia akan buta tentang hal itu. Akibatnya ketika dia melakukan sesuatu yang melanggar norma seperti membuli, dia merasa hal itu sebagai sesuatu yang biasa saja,. 

Apalagi bila dia melihat contoh para koruptor dan pelanggar hak asasi manusia di pemberitaan televisi hukumannya diperingan atau justru lepas dari jeratan hukum, akan membuat pola pikir anak menganggap pelanggaran hukum adalah hal yang bisa ditolerir dan ditawar.

Segala tingkah polah pembuli tidaklah berdiri sendiri, melainkan merupakan cerminan perilaku orangtua mereka, tetangga mereka, dan orang-orang di sekelilingnya, yang acuh tak acuh dengan kondisi di sekitarnya, 

Saat ini sepertinya sikap acuh tak acuh sudah membudaya, akibatnya tidak ada lagi perasaan menganggap anak orang lain seperti anaknya sendiri, hilangnya perasaan welas asih, belas kasih, tak ada lagi sikap menjaga dan melindungi anak orang lain seperti anak sendiri, yang terjadi justru maraknya pelecehan anak yang kadang dilakukan oleh tetangga, ataupun orang-orang terdekat anak. 

Minimnya contoh positif dari orang-orang dewasa di sekitar anak, ditambah tampilan-tampilan berita para pelanggar norma yang tampil tanpa beban di layar kaca, turut andil dalam memperparah merosotnya moral generasi muda kita.

Peristiwa tawuran yang dilakukan orang-orang dewasa, atau juga serangan mematikan para geng motor, turut serta mewarnai alam bawah sadar para bocah yang masih bingung mencari identitas diri. Belum lagi ditambah serbuan maraknya budaya asing yang merangsek melalui layar gawai dan gadget generasi muda kita.

Beragam serbuan bertubi, tanpa adanya perlindungan norma dari orang tua dan lingkungan sekitanya, sudah pasti makin membuat moral para bocah amburadul, hinga melakukan pembulian.

Mungkinkah kita akan membebankan semua kesalahan di atas adalah akibat adanya pembelajaran online selama pandemi? Sebab disaat itulah generasi muda kita diintensifkan dengan gawai, yang tentunya jadi mudah mengakses negatifnya budaya asing dari berbagai negara.

Boleh jadi hal tersebut juga merupakan salah satu faktor penyebabnya, tapi tak bisa serta merta disalahkan begitu saja, sebab tanpa adanya gawai dan gadget, bagamana generasi muda akan bisa melanjutkan menuntut ilmu selama pandemi?

Namun jangan pernah lupa, sedahsyat apapun serangan budaya dari negara negara luar, asalkan generasi muda kita sudah dibekali filter moral untuk menyaring hal-hal negatif tersebut, maka bukan masalah lagi bila dia harus memegang gawai. Tak berbeda jauh dengan memiliki sebuah pisau, ketika anak sudah tahu dampak positif dan negatif memiliki pisau, maka dia akan bijak dalam menggunakannya.

Demikian juga dengan kejadian penembakan di Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Siapa yang salah? Senjata apinya atau pemegangnya? Tapi saya tidak yakin dia akan melakukan hal tersebut seandainya telah dibekali norma-norma oleh orangtua dan lingkungan sekitarnya.

Kita tidak bisa serta merta menyalahkan senjata api atau pun pabrik pembuatnya, sebab pengendali utama dari perilaku senjata api adalah pemegangnya, terlepas dari siapa pun pemiliknya. Dari contoh kasus ini, jelas perlunya penerapan sikap bijak mulai sejak dini pada anak-anak. Tentu saja sikap itu harus dicontohkan oleh generasi  di atasnya. Jika generasi diatasnya tidak bijak dalam bersikap, lalu kemana lagi para generasi penerus mencari panutan?

Tindakan terhadap perilaku pembuli

Sudah seharusnya orangtua memberi suri tauladan bijak pada anak dengan pengajaran norma-norma pada mereka, sehingga seiring berjalannya waktu, hal tersebut akan terpatri dalam kehidupannya. Bisa dibayangkan betapa damainya sebuah kehidupan bila semua orangtua dan juga generasi mudanya berjalan sesuai aturan norma yang berlaku.

Saat norma-norma telah diperkenalkan dan ditanamkan pada anak sejak dini, namun ternyata anak masih melakukan buli, maka tindakan yang dapat dilakukan adalah:

Ajak anak berdiskusi

Orangtua sudah seharusnya menyediakan waktu untuk berbicara dengan anak, mengajak bicara dari hati ke hati tentang apa yang telah diperbuatnya serta dampak negatif dari perbuatan tersebut  Biarkan dia mengungkapkan segala isi hatinya, uneg-unegnya, dari sini orangtua akan dapat memahami apa penyebab anak sampai melakukan perbuatan tercela tersebut.

Tanamkan empati

Orangtua atau guru bisa mengajak anak bermain peran, bisa memerankan orang yang dibuli, agar anak dapat memahami bagaimana rasa tidak enaknya dibuli ataupun dikucilkan. Permainan ini tidak bisa hanya dimainkan sekali langsung meresap pada perilaku anak, namun perlu waktu beberapa kali hingga anak memahamnya. Dari sini anak menjadi paham dan bisa merasakan bagaimana seandainya posisinya bila menjadi korban buli.

Sering sapa anak

Terkadang orangtua karena kesibukannya, jangankan mengajak bicara, menyapa saja tak sempat. Bahkan konon anak-anak di Jakarta karena kesibukan orangtua dan kemacetan yang panjang, pagi tak bertemu karena orangtua sudah berangkat mencari nafkah, hingga kemudian pulang ketika anak-anak sudah tertidur lelap. Tak ada waktu menyapa' apalagi bicara.

Sapaan sepertinya tak berarti apa apa, namun sapaan ternyata sebuah usapan verbal lembut mampu menenangkan hati. Akan terlihat perbedaan sifat dari anak yang akrab dengan orangtuanya, dan tentunya disapa tiap hari, dibanding dengan anak dengan latar belakang orangtua yang mengabaikan dan bersikap dingin.

Senyum pada anak

Banyak orangtua sering meremehkan senyum, apalagi pada anak-anaknya. Padahal hal ini penting, karena anak-anak dengan lingkungan yang banyak senyum akan juga menularkan senyum pada orang lain.

Tentunya dapat diambil kesimpulan, sangat mustahil anak-anak dari lingkungan ramah dan banyak senyum akan membuli, sebab dia merasa dunia ini indah dan penuh senyuman, akan terasa tidak enak jika ternodai oleh ancaman, perundungan, dan kekerasan.

Dari kesimpulan pembahasan di atas menunjukkan, anak-anak yang suka membuli biasanya terlahir dari keluarga yang dingin, kurang memahami psikologis anak, suka mengancam dan menekan anaknya dengan kekerasan. 

Saat di rumah, anak-anak tak dapat melakukan perlawanan sebab orangtuanya berada pada posisi kuat, sebagai pemilik rumah, sebagai pencari nafkah, sementara anak hanya sebagai peminta yang harus patuh oada pemberi. 

Akibatnya, anak akan melampiaskan kekesalan dan kemarahannya yang terpendam dengan cara membuli teman-temannya yang dianggap lemah. Anak-anak dari latar belakang keluarga suka menindas, akan melahirkan anak-anak penindas juga.

Sudah saatnya kita bangkit menjaga generasi muda negeri ini dengan mencetak generasi kuat mental, ramah, mempunyai perisai kuat terhadap pengaruh negatif, bukan tukang buli, bukan tukang tindas, memiliki empati dan solidaritas tinggi terhadap sesamanya.

Mari membentuk anak-anak Indonesia sesuai warisan norma bangsa yang luhur, santun, mematuhi norma-norma, hidup rukun sesama bangsa, menghargai perbedaan, dan menghormati sesama.

Ingat, semboyan Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua, bukan berbeda-beda untuk dibuli juga. Saatnya memberi contoh perilaku terbaik untuk generasi muda bangsa kita, belum terlambat untuk memulainya. 

Selamat berjuang menyelamatkan negeri ini! Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun