18 Mei 2016 kemarin, saya sempat beli sosis bakar untuk lauk makan malam di perempatan Asco, Bantar Gebang. Yang selalu menjadi perhatian menarik adalah para 5 s/d 6 orang nongkrong di jalanan dengan menggunakan smartphone bertipe communicator. Di saat selesai membeli sosis bakar, 2 di antara mereka langsung pergi dengan motor maticnya untuk mengincar sesuatu.
Iya, Mata Elang. Fenomena ini sudah sangat menjamur dan merata di seluruh kawasan Jabodetabek dan kawasan urban lainnya di Indonesia. Mereka rata-rata adalah orang yang berperawakan kasar dan garang. Pada awalnya, mereka menggunakan buku sebagai database untuk mencatat nomor polisi kendaraan roda 2 yang memiliki akses data ke pihak leasing.
Namun belakangan, mereka menggunakan smartphone bertipe communicator untuk melacak kendaraan yang memiliki masalah kredit sepeda motor. Ketika mata elang ini berhasil menemukan korban, dia langsung mengincar korban tersebut dan jika berhasil, mereka mengincar korban dengan cara dipaksa atau barang ybs dirampas.
Di sekitaran rumah saya, setidaknya ada 2 spot lokasi para “Mata Elang” ini, yaitu di perempatan Asco dan Tikungan H. Djole, Bantar Gebang. Asumsi saya, ada sekitar 200 s/d 300 spot Mata Elang yang tersebar di Jabodetabek, mengingat tingginya jumlah kendaraan sepeda motor di kawasan Jabodetabek.
Apa faktornya?
Menurut analisis dan komentator amatiran dari saya, munculnya Mata Elang ini disebabkan oleh beberapa hal:
1. Lemahnya Regulasi Penjaminan melalui Fidusia
Penjaminan Fidusia sebenarnya sudah diatur melalui UU No. 42/1999 tentang penjaminan fidusia, hal ini sebenarnya untuk mengawasi hak dan kewajiban konsumen jika terjadi penunggakan/penghambatan pembayaran kredit yang diberi oleh pihak leasing/bank, sehingga meminimalisir terjadinya kriminalisasi konsumen. Leasing sangat enggan mencairkan dana fidusia ini karena dana jaminan bisa mencapai Rp. 1 juta/kendaraan.
Sayangnya, pihak OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan kepolisian belum menegakkan dan mengimplementasikan undang-undang ini secara optimal. Apapun kondisinya, konsumen tetap harus dilindungi.
2. Tingginya sikap konsumerisme
Menjadi hal yang permisif dan wajar jika munculnya Mata Elang ini menyebar secara merata. Sikap konsumerisme masyarakat kita membuat lahirnya si “Mata Elang” ini. Umumnya, sikap konsumerisme ini disebabkan oleh gilanya promosi pengajuan kredit kendaraan bermotor yang ekstrem, namun tidak diimbangi oleh hak dan kewajiban Leasing dan Konsumen dalam pengajuan aplikasi kredit. Sasaran Mata Elang tidak lain adalah para masyarakat yang berpenghasilan “pas-pasan” dan gampang menunggak mengangsur cicilan kredit.
Bahkan dalam analisis amatiran saya, Mata Elang ini tidak saja menyasar pada kendaraan roda 2 saja, tapi juga aplikasi kredit lainnya yg sifatnya konsumtif, seperti barang elektronik dan gadget. Sehingga sasarannya tidak mengacu pada motor saja, tapi peralatan konsumtif yang dibeli melalui aplikasi kredit/tunai.
3. Lemahnya Pengawasan Promosi Kredit
Promosi kendaraan bermotor saat ini masih menggila, meski krisis ekonomi global masih menghantui negeri kita saat ini (berpengaruh terhadap lemahnya penjualan kendaraan bermotor). Lemahnya regulasi dan pengawasan promosi kredit menjadi salah satu acuan maraknya Mata Elang ini.
Salah satu contohnya, promosi kendaraan sepeda motor dengan harga yang “cukup buat kantong” secara massif tapi dengan minimnya kemampuan konsumen membayar angsuran. Ditambah dengan tidak ada penjaminan jika konsumen menunggak aplikasi kredit.
Kembali lagi kepada Otoritas Jasa Keuangan yang tidak memberlakukan pengetatan secara penuh terhadap sistem kredit sepeda motor yang disediakan oleh leasing/ban
4. Minimnya Akses Transportasi Publik
Munculnya Mata Elang bagiku juga disebabkan oleh lemahnya akses transportasi publik. Penduduk Jabodetabek sudah padat merata, namun akses transportasi publik masih sangat rendah bagiku. Khususnya di dunia transportasi bus dan kereta.
Sebagai contoh, saya punya mobilitas yang padat dan tinggi, kadang-kadang mesti pergi antar kota seperti Bojongmenteng – Serpong, Bojongmenteng – Bintaro dan Bojongmenteng – Ciomas. Rata-rata para pekerja kantoran juga begitu, seperti Cikarang – Rempoa dsb. Sayangnya, transportasi publik urban di Jabodetabek belum bisa memenuhi kebutuhan mobilitas para pekerja yang tinggi, ekstrem, jauh dan padat. Nah, dengan mobilitas masyarakat kita yang tinggi pula menjadi incaran empuk para Mata Elang ini.
Apakah Mata Elang Legal?
Jawaban dari saya adalah ilegal. Mata Elang memang sebenarnya merupakan profesi outsourcing yang disediakan oleh pihak leasing/bank untuk mencari motor yang bermasalah. Mereka bisa memiliki 2 opsi profesi ini, bisa menjadi debt collector, bisa jadi perampok/penjambret.
Dengan adanya Mata Elang ini, menurut saya yang amatiran adalah tindakan ilegal dan melanggar undang-undang No. 42/1999 tentang penjaminan fidusia. Juga mengancam perlindungan konsumen dalam mengajukan dan bertransaksi melalui kredit, meskipun kualitas kredit terbilang lancar.
Troubleshooting Dasar "Mata Elang"
Jika menghadapi masalah dengan Mata Elang dan obyek/barang kita dirampas oleh Mata Elang, ada beberapa teman-teman Kaskuser yang memberikan saran seperti ini (pastikan juga pihak ybs memiliki SKP/surat tugas penarikan resmi dari leasing) :
1. Kumpulkan Bukti Tertulis (Seperti surat penarikan, tanggal dsb), oleh konsumen yang mendapat fasilitas kredit oleh leasing.
2. Segera datangi kantor leasing yang mendapatkan fasilitas kredit, dengan bukti saya punya obyek/barang yang dikredit dan sebaiknya disampaikan nanti ke pihak manager leasing
3. Jelaskan kronogis penarikan paksa ini secara detail, jika motor ditarik disebabkan karena penunggakan, maka penarikan bersifat resmi dan dimasukkan dalam gudang dan konsumen sudah tutup piutang dengan leasing. Jika masih ada yang meminta tagihan, maka ada pihak yang "bermain".
4. Jika memang terpaksa ada yang meminta tagihan dan ada indikasi pada no. 3, maka konsumen wajib berani menghadap ke manajer leasing untuk menjelaskan kronologisnya. (kecuali ada kesepakatan saat penarikan)
-----
Apa Solusi Eksternalnya?
Sebagai pengamat yang amatiran, saya mencoba menjawab solusinya seperti ini,
- Sepadannya, dengan regulasi yang ada, leasing/bank segera menegakkan sistem kredit yang ketat, tidak sekadar menyediakan aplikasi kredit kendaraan bermotor namun juga super selektif mengajukan aplikasi kredit bagi konsumen.
- Sasaran Mata Elang ini adalah yang para konsumen yang nekat mengajukan kredit, tapi tak mampu membayar angsuran atau tidak cerdas menangani sistem kredit. Seperti dengan memantau profesi pekerjaan melalui KTP dan mempersulit para konsumen untuk mengajukan kredit, sehingga para leasing bisa menolak aplikasi kredit yang diajukan konsumen dengan analisis yang detail.
- OJK dan Kepolisian sepadannya menegakkan pengawasan kredit yang ketat seperti dengan memperketat promosi kendaraan bermotor dengan sistem kredit serta mewajibkan para leasing benar-benar melindungi konsumen dengan adanya penjaminan fidusia itu sendiri.
- Untuk jangka pendeknya, untuk bisa mengetahui hal ini perlu ada mata-mata dari kepolisian dan OJK untuk mengetahui motif dari Mata Elang ini, sehingga nantinya otoritas kita bisa menertibkan Mata Elang secara represif.
- Sepadannya, akses transportasi publik kita sudah seharusnya memenuhi kebutuhan para pekerja kita di Indonesia yang mobilitasnya cenderung padat, ekstrem, jauh dan tinggi. Sehingga tidak semata terintegrasi, namun juga menjangkau sampai tingkat detail sekalipun. Sepadannya ini yang perlu dipikirkan pemerintah daerah dan Kemenhub, khususnya di Kota Bekasi dengan minimnya akses transportasi publik hingga ke cluster2 perumahan.
Dan Yang paling penting dari segi diri kita sendiri adalah cerdas bertindak sebagai konsumen.
Meski kualitas kredit kita lancar dan baik, namun dengan sikap konsumerisme kita yang tinggi dan tidak diimbangi dengan kreativitas yang optimal secara tidak langsung sama saja berdampak terhadap maraknya si Mata Elang ini. Mata Elang bermunculan berkat dari diri kita sendiri yang konsumtif bertransaksi dan membeli barang dalam bentuk apapun (termasuk sembako), tanpa memperdulikan keadaan ekonomi kita. Karena si Mata Elang cenderung melakukan tindakan kriminal namun tersistem.
Dengan hadirnya Mata Elang ini, sepadannya kita harus sadar dan cerdas menjadi konsumen dan mempertimbangkan resiko ekstrem yang terjadi secara tidak langsung dan berjangka panjang untuk melakukan transaksi atau mengajukan kredit. Karena, kita tidak akan pernah tahu bahwa kita sesungguhnya adalah pelaku kejahatan.
Ada yang mau koreksi?
Salam, penggemar bus dan K-Pop.
fajarbuslovers.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI