Bagian II: Perahu, Bendung dan Nafsu Menaklukkan
Langit menggantung seperti luka yang belum sembuh. Fajar memendarkan cahaya yang aneh, tidak merah, tidak jingga, melainkan keperakan. Tanda bahwa sesuatu yang besar sedang dibengkokkan dari jalurnya.
Benang-benang waktu di tangan Dayang Sumbi menjadi lebih berat. Udara pun terasa tegang, seperti kulit gendang yang menanti pukulan.
Di lembah bawah, Sangkuriang berdiri tegak di antara kabut dan reruntuhan pepohonan. Ia telah mencapai tanah yang disebut orang-orang tua sebagai Padang Karuhun, tempat di mana dahulu leluhur-leluhur pertama memanggil langit turun agar bumi tumbuh. Tapi kali ini, yang datang bukanlah langit, melainkan api.
Matanya menyapu horizon. Ia melihat segala yang diam dan tua. Gunung menjulang tanpa nama, lembah sunyi tanpa suara. Di kepalanya bergemuruh satu tekad:
“Kuring moal balik ka langit, saméméh kuring nyieun dunya anyar,” guman Sangkuriang.
(Aku takkan kembali ke langit, sebelum aku ciptakan dunia baru.)
Ia mulai membangun sesuatu. Sesuatu yang belum pernah terbayangkan oleh tanah ini: sebuah perahu raksasa.
Tapi bukan perahu untuk melaut. Ini adalah perahu untuk menaklukkan waktu.
Dari pohon-pohon tertua yang tumbang dengan pukulan tangannya, juga dari pengerukan batu-batu secara paksa dari dasar sungai, Sangkuriang mulai menumpuk, memahat, menyusun.
Kabut menjauh. Angin berhenti. Bahkan burung-burung pun tak berani berkicau.