Selama kita sekolah di Hollands Inlandse School, kau selalu mencapai hasil terbaik, meninggalkan kawan-kawan yang lain, termasuk diriku. Meski nilaiku jauh dari yang kau miliki, aku termasuk beruntung bisa mengikuti jejakmu melanjutkan sekolah ke Holands Inlandse Kweekschool (HIK). Kita sama-sama lulus tahun 1933 saat berusia 15 tahun.
Persahabatanku sejak kecil bersamamu mulai renggang saat kita memiliki pilihan yang berbeda. Kau bergabung dalam barisan KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), sebuah gerakan untuk memperjuangkan kedaulatan Hindia-Belanda. Bersama anggota KRIS lainnya, kau sering merebut pos-pos yang dijaga Belanda, lalu merampas senjatanya. Hasil rampasan itu lah yang kau dan anggota KRIS gunakan untuk melawan penjajah.
Selain pandai dan pemberani, aku juga mengenal sifatmu dari ucapan yang lugas. Tak jarang nada tinggi akan keluar dari ucapan. Bahkan terkadang kata-kata umpatan juga keluar dari mulutmu bila kau melihat ada yang salah dengan yang terlihat.
“Hans, ayo gabung KRIS,” pintamu pada suatu sore.
Aku terdiam beberapa saat tak menjawab ajakan itu.
“Hans, kenapa diam?!” pintamu lagi.
“Aku sudah bergabung dengan pasukan Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL),” ujarku.
“Penghianat! Pergi kau dari mukaku!” katamu berseru.
Sejak sore itu, aku sudah tak bertemu lagi denganmu dalam waktu yang cukup lama. Semangat perlawananmu terhadap Belanda terus kau kobarkan melalui KRIS maupun lewat gerakan-gerakan lain selama kau terus melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi.
Berlawanan denganmu, aku bergabung bersama tentara KNIL lainnya yang berasal dari Jawa, Minahasa, dan Ambon. Tugas utama kami untuk melawan rakyat Hindia-Belanda yang melakukan pemberontakan.
Beberapa bunga kamboja berwarna putih jatuh dari pohon yang tak jauh dari nisanmu. Aku mengambil bunga-bunga itu, lalu meletakkannya di atas pusaranmu. Selama bersimpuh, aku tak hanya menatap nama dan nisanmu, tapi juga nama dan nisan yang berada di sampingmu.