"Tuan si pemahat bulan di mana pak? Kok gubuknya hampir roboh ya. Tampak seperti tidak lagi di tempati."
"Nanti kau juga akan paham." Jawabnya dengan singkat lalu dia bergerak ke pintu dan membukanya.
Jawaban yang singkat membuat aku semakin tidak paham. Seperti misteri kematian jurnalis investigasi yang kemarin aku baca. Tapi tidak apa, aku ikuti saja apa yang di sajikan.
Setelah pintu dibuka, kami langsung masuk. Aku lihat hampir setiap dinding ruang tamu ada lukisan senja dan purnama yang di pajang. Sementara, di atas meja ada sebuah kotak kaca yang di tutupi kain putih.
"Silakan buka tirai itu, di sana akan kau temui senja yang kau maksudkan." Ucap si tukang pos itu.
Tanpa menunggu lama, aku dekati kotak itu. Dan benar, di dalam kubus itu ada senja yang indah sekali. Sungguh indah tak mampu aku uraikan. Senjanya tidak ada polusi, dia tidak pucat apalagi pasi. Senja kemerah-merahan dengan awan gemawan mengantung membentuk pola tak terbaca itu dibungkus dengan mika transparan.
Sekali senja telah aku saksikan, namun di gubuk itu tidak aku temui si pemahat bulan itu. Padahal ingin sekali aku bertemu dengannya agar bisa memohon ijin untuk mengambil sedikit potongan senja milik dia.
"Pak, lalu dimanahkah si pemahat bulan? Dari tadi aku tidak melihatnya di jalan pun di gubuknya sendiri." Tanyaku ke si tulang pos.
"Ambil saja amplop cokelat itu, buka dan baca kau akan tahu kejelasannya." Jawabnya singkat.
Memang, di atas kotak itu ada sebuah amplop berpita putih diletakkan tepat di atas senja itu. Aku langsung meraihnya dan membaca seperti arahan yang di berikan oleh tukang pos itu.
"Salam sejahtera untukmu
Semoga saat ini, sebentar dan esok kau selalu di rahmati dalam kebahagiaan.