Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Pilihan

Bingkisan untuk Azzahra 1

4 Juli 2021   20:35 Diperbarui: 4 Juli 2021   20:48 186 7
Hari ini usiamu sudah 21 tahun. Aku sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan karena masih memberikan kamu usia yang panjang. Sebenarnya aku ingin menyampaikan semua tentang hal-hal yang telah aku lakukan sebagai bentuk syukurku. Tapi, aku rasa itu bukan hal yang bijaksana dan nanti membawaku pada kesia-siaan.

Di hari ulang tahunmu ini, telah aku siapkan sebuah bingkisan sebagai hadiah. Aku harap, kau jangan mara dan menerimanya dengan kebijaksanaanmu. Aku sadar, bahwa apa yang nanti aku berikan kepadamu ini tidak seperti yang kau inginkan. Aku tahu kau suka senja, sepotong kenangan juga hujan bulan Juni. Namun semua itu belum aku sanggupi.

Aku tahu kau mungkin mara, dan akan bertanya-tanya kenapa tidak sepotong senja, sepotong kenangan atau juga hujan bulan Juni yang aku berikan kepada kamu. Maka biar jelas semuanya akan aku ceritakan kepadamu kenapa tidak aku berikan sepotong senja, sepotong kenangan atau juga hujan bulan Juni itu.

Azzahraku, tepat di bulan Maret lalu aku mulai menyusuri setiap pantai untuk mencari senja yang paling indah dengan cahaya emas kemerahan pada samudranya ada nelayan dengan layar perahu membentang. Sudah beberapa kota yang aku datangi, namun kau senja yang aku maksudkan tidak aku temui di kota-kota itu. Hanya ada senja dengan cahaya kemerah-merahan yang buram juga terlihat pucat dan pasi yang aku temui.

"Senja kami tidak lagi indah. Dia kelabu akibat polusi." Begitulah ucap seorang kakek penjaga pantai kala itu.

Aku tidak menyerah setelah pencaharianku yang berujung nihil. Aku masih tetap mencari dan menyusuri di setiap kota-kota yang lain yang letaknya di pesisir pantai. Namun kerja keras dalam pencaharianku masih sama saja, yang aku dapati masih sama, hanya kesia-siaan.

Mendapati hasil yang tidak baik di kota, aku langsung berpikir keras dan memutuskan untuk mengunjungi desa-desa. Pikirku kala itu adalah karena di desa masih alami dan tentu masih terbebas dari polusi pabrik-pabrik besar.

Bertualang ke desa-desa pun aku mulai. Satu persatu aku singga dan nikmati senja yang disajikan oleh alam. Hampir setiap hari aku terus berkelana tanpa lelah dan setalah aku hitung-hitung sudah dua ratus desa yang telah aku singgahi. Dari sekian banyak desa yang telah aku kunjungi, aku temui hal yang sama. Lagi-lagi yang aku dapati senja pucat pasi. Dia tidak lagi jingga dan pola ke emas-emasan. Sekali begitu aku tetap melanjutkan kelanaku.

"Dahulu, senja di sini jingga dan indah. Namun, sejak masuknya tambang, senja kita sudah buram." Kata seorang bapak penjaga pantai di suatu desa.

Saat itu aku sungguh bingung, entah dimanah lagi aku cari senja yang jingga buat hadiah di hari ulang tahunmu. Di sela kebingunganku, sampailah aku pada suatu pantai di desa yang ke dua ratus tiga. Di sana aku dapati seorang kakek yang terlihat kesulitan menaiki perahunya digelanggang. Lalu aku menghampiri dan membantu kakek tersebut.

"Hendak ke mana nak, kelihatannya kau sedang mencari sesuatu." Tanya kakek itu seusai kami menaiki perahunya di gelanggang. Rupannya, di sela kesulitannya dia masih sempat memperhatikan aku dari jauh.

"Ini kek, saya hendak cari sepotong senja untuk kado ulang tahun." Jawaku singkat.

"Wah pasti senja yang kau cari itu sebaik-baiknya senja ya nak?"

"Benar kek, tapi sampai sejauh ini aku belum juga mendapatkan senja yang seperti itu. Padahal di desa ini suda ke dua ratus tiga yang aku kunjungi." Aku mencoba menjelaskan.

Kakek itu diam, sembari sedikit senyum. Lalu melanjutkan.

"Memang, tidak kau dapati senja seperti yang kau inginkan di sini. Sebab beberapa tahun ini polusi perkotaan sudah menjara sampai ke desa-desa. Akibatnya senja yang nak maksudkan sudah keburu punah."

"Lantas di mana lagi aku bisa mencarinya kek?"

Kakek itu sesaat diam. Sembari mengamati ufuk barat yang kian kelam. Dari gurat wajahnya, dia sepertinya sedang mengingat sesuatu. Tapi aku sendiri tidak tahu apa. Di dalam kepalaku hanya terbesit semoga dari kakek ini ada sedikit petunjuk buatku untuk bisa mendapati senja yang indah itu.

"Oh iya, aku baru ingat nak. Kau pergi ke selatan Halmahera tepatnya di sebuah Desa bernama Mateketen. Di sana tinggallah seorang laki-laki yang orang biasa menyebutnya si pemahat bulan. Kau temui dan tanyakan ke dia, siapa tahu dia punya pahatan senja yang menarik seperti kau maksudkan."

"Oh iya kek, aku baru ingat. Aku pernah membaca cerita soal si pemahat bulan itu. Aku kira dia hanya tokoh rekaan seorang penyair."

***

Sesampainya di Desa Mateketen, aku langsung bergegas mencari si pemahat bulan. Sebenarnya aku ingin berlama-lama untuk menikmati kesejukan dan keindahan yang disajikan di desa itu. Tapi karena waktu yang menusukku dengan kera, jadi mau tidak mau aku harus memfokuskan diri pada tujuanku.

"Kau ingin hendak mencari si pemahat bulan?" Ujar seorang nenek yang saya temui di bawa rimbun ketapang yang letaknya dipojok pantai.

"Iya nek, bolehkah saya minta petunjuk dimanah tempat si pemahat bulan itu?"

"Oh iya, kau lurus saja. Di depan ada setapak yang mengarah ke bukit. Nanti di pertigaan kau ada tukang pos, silakan tanya ke dia nanti bisa langsung dia antarkan kamu ke si pemahat bulan."

"Oh iya Nenek, terima kasih atas petunjuknya." Ucapku lalu bergegas mengikuti arahan yang di sampaikan.

Aku berjalan di atas pasir yang hitam bersih. Terlihat ketapang dan nyiur kokoh berjejer di tepi pantai. Perahu-perahu para nelayan juga terlihat parkir manis di pasir, sebagiannya di biarkan mengapung. Sepertinya, perahu-perahu yang mengapung itu milik para nelayan yang nanti pergi melaut sebentar sore.

Belok kiri, lalu naik setapak dan berjalan terus. Sepanjang mata saya memandang, jalan yang saya lalu hampir tidak terlihat sampah. Bersih, rupanya masyarakat di sini sangat cinta akan kebersihan. Sementara jejeran cemara pun terlihat di tepi jalan, serasa seperti dalam labirin. Udaranya juga sejuk tatkala hawanya masuk di rongga hidung.

"Halo nak, aku sudah tahu maksud kedatanganmu. Kau pasti mencari si pemahat bulan kan?" Ujar pak pos menyambutku saat aku baru saja sampai di pertigaan. Pak pos itu seakan sudah di beritahu sebelumnya bahwa aku akan datang menemuinya. Tapi tidak apa lah, intinya aku di terima dengan baik olehnya.

"Iya benar pak, mohon maaf merepotkan. Boleh saya tahu dimanah rumah si pemahat bulan itu." Ujarku menjawab tanyanya.

"Tidak nak, tidak merepotkan. Sebab sudah tanggung jawabku. Ayo aku antarkan." Lalu kami bergegas menuju bukit.

Sesaat setelah kami sampai, aku lihat sebuah gubuk reot itu banyak di tumbuki dilalang. Sekilas, gubuk itu seperti tidak terurus. Apalagi, dindingnya sudah lapuk juga atapnya yang mulai bolong. Penasaran membawa aku bertanya ke si tukang pos yang terlihat masih mengamati gubuk itu.

"Tuan si pemahat bulan di mana pak? Kok gubuknya hampir roboh ya. Tampak seperti tidak lagi di tempati."

"Nanti kau juga akan paham." Jawabnya dengan singkat lalu dia bergerak ke pintu dan membukanya.

Jawaban yang singkat membuat aku semakin tidak paham. Seperti misteri kematian jurnalis investigasi yang kemarin aku baca. Tapi tidak apa, aku ikuti saja apa yang di sajikan.

Setelah pintu dibuka, kami langsung masuk. Aku lihat hampir setiap dinding ruang tamu ada lukisan senja dan purnama yang di pajang. Sementara, di atas meja ada sebuah kotak kaca yang di tutupi kain putih.

"Silakan buka tirai itu, di sana akan kau temui senja yang kau maksudkan." Ucap si tukang pos itu.

Tanpa menunggu lama, aku dekati kotak itu. Dan benar, di dalam kubus itu ada senja yang indah sekali. Sungguh indah tak mampu aku uraikan. Senjanya tidak ada polusi, dia tidak pucat apalagi pasi. Senja kemerah-merahan dengan awan gemawan mengantung membentuk pola tak terbaca itu dibungkus dengan mika transparan.

Sekali senja telah aku saksikan, namun di gubuk itu tidak aku temui si pemahat bulan itu. Padahal ingin sekali aku bertemu dengannya agar bisa memohon ijin untuk mengambil sedikit potongan senja milik dia.

"Pak, lalu dimanahkah si pemahat bulan? Dari tadi aku tidak melihatnya di jalan pun di gubuknya sendiri." Tanyaku ke si tulang pos.

"Ambil saja amplop cokelat itu, buka dan baca kau akan tahu kejelasannya." Jawabnya singkat.

Memang, di atas kotak itu ada sebuah amplop berpita putih diletakkan tepat di atas senja itu. Aku langsung meraihnya dan membaca seperti arahan yang di berikan oleh tukang pos itu.

"Salam sejahtera untukmu
Semoga saat ini, sebentar dan esok kau selalu di rahmati dalam kebahagiaan.

Ketahuilah, bahwa aku adalah sepotong narasi yang di tulis oleh si pemahat bulan. Aku tahu, maksud kedatanganmu ke sini tidak lain dan tidak bukan adalah minatmu ke senja itu. Namun, Ketahuilah bahwa senja itu hannyalah salah satu senja terbaik yang di siapkan oleh pemahat bulan untuk anak cucunya. Maka berkenaan dengan ini, aku meminta maaf untuk kiranya tidak di ambil. Sebab jika di ambil, maka senja yang nanti diwariskan untuk anak cucu itu tidak lagi ada.

Adapun kau tanya mengenai si pemahat bulan. Di sini aku beri tahu, bahwa si pemahat bulan telah mendahuluimu mengembara ke labirin yang tak berujung juga mengarungi samudra tidak bertepi. Si pemahat telah berpulang, membawa jasadnya. Tapi tidak dengan ruh dan cita-citanya, dia tinggal bersama di kepala dan hati manusia.

Maka, aku harap kemurahan hati Anda agar tidak kecewa apalagi mara.

Tak bertanda"

Aku akhiri dengan mata sedikit berkaca. Rupanya si tukang pos benar. Dan aku tidak tahu lagi harus ke mana agar bisa aku dapati senja yang kau inginkan.

"Itu surat yang di tulis si pemahat bulan sebelum dia pergi dalam ruang yang tak berujung." Ucap tukang pos.

"Sungguh malang nasibku. Lalu ke mana lagi akan aku cari senja yang indah untuk kado ulang tahun."

"Aku harap kau jangan putus asa, sebab menyenangkan hati orang adalah baik. Maka aku harus menyurati Alina untuk memohon kesediaannya atas senja Sukab yang di berikan kepadanya."

***

Sebelumnya aku harap kau tidak berpikir lebih Azzahraku. Seperti saran si tukang pos itu, bahwa aku harus menyurati Alina. Maka, aku kemudian menyuratinya hanya untuk memohon kesediaannya memberi sepotong senja miliknya itu.

Biar kau tidak berpikir macam-macam, maka aku sertakan salinan suratku dan surat Alina berikut ini.

"Salam sejahtera
Semoga kau selalu di beri rahmat dan selalu berbahagia.

Alina, sebelumnya aku memohon maaf. Bahwa kedatanganku mungkin mengusik bahagiamu. Tapi Ketahuilah, aku tidak bermaksud lebih. Hanya memohon kesediaanmu untuk memberikan aku sedikit senja terbaikmu yang di sembahkan oleh Sukab. Maka aku harap kau sedia dalam kemurahan hatimu. Sebab senja itu nantinya aku jadikan kado ulang tahun untuk wanita terkasihku.

Balasanmu sangat aku tunggu, semoga kau bijaksana membaca dan membalasnya.

Tertanda
Gembel dari belantara Sunyi.
Limau Gapi, 27 Februari 2021

Azzahra, itu surat pertama juga terakhir dariku untuk Alina. sebab Alina mungkin paham, dan tidak ingin basa basi. Jadi balasan suratnya telah menjawab semuanya. Berikut salinan surat balasan Alina.

"Salam sejahtera
Semoga kau juga selalu diberi rahmat dan selalu berbahagia.

Sebelumnya aku atas nama Alina meminta maaf kepadamu tuan Gembel dari belantara sunyi. Bukan bermaksud tidak murah hati dan tidak sedianya. Tapi, kau harus tahu bahwa senja di dalam yang aku terima tidak indah lagi seperti yang masih di pegang oleh Sukab. Dia tidak lagi jingga keemasan seperti yang Sukab bilang.

Maka, aku tidak rela jika senja yang tidak lagi baik ini aku berikan kepadamu atas kemurahanku. Karena aku yakin senja ini andaikan kau berikan untuk orang terkasih sebagai hadiah ulang tahun yang kau dulang bukan bahagia tapi kecewa yang tiada duanya. Jadi, aku harap kau percaya dan menerima yang nyata dengan kesabaran dan kebijaksanaanmu.
Mohon terima permohonan maafku ini tuan Gembel.

Tertanda,
Alina,
Tanjung, 3 Maret 2021

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun