Mohon tunggu...
Kael Faid
Kael Faid Mohon Tunggu... Penulis Cerpen

Penulis cerita fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Payung Biru Tua

26 Juli 2025   13:58 Diperbarui: 26 Juli 2025   13:58 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku masih ingat jelas hari itu hujan turun tipis, meninggalkan jejak basah di jalanan aspal yang sudah mulai retak. Di sebuah pemakaman kecil di ujung kota, aku melihat perempuan itu untuk pertama kalinya. Ia berdiri di bawah payung biru tua, mengenakan pakaian hitam sederhana, dengan rambut panjang tergerai basah oleh kelembapan udara. Sorot matanya kosong, tapi ada ketenangan yang ganjil. Dia tampak seperti lukisan hidup yang diwarnai suram oleh suasana duka. Kesan pertamaku adalah cantik.

Aku tidak mengenalnya, tapi anehnya, aku merasa dia seolah memanggilku untuk memperhatikan. Aku berdiri di barisan pelayat, mendengarkan doa yang dipimpin seorang ustadz, sementara pikiranku melayang pada sosok perempuan itu. Dia berdiri agak jauh dari kerumunan, di dekat saluran air, seperti pengamat yang asing. Saat upacara selesai, aku melihat dia pergi tanpa sepatah kata pun kepada siapa pun. Seakan-akan dia hanya datang untuk memastikan sesuatu, bukan untuk merasakan kehilangan.

Dia sering kali menunjukkan gelagat aneh. Seperti sedang mengambil nafas panjang. Aneh, mengingat dia berdiri di dekat saluran air.

Sebagai penulis, aku selalu punya kebiasaan mencatat hal-hal kecil yang menarik perhatianku. Dalam notes di ponselku, aku menulis, 'Perempuan misterius di pemakaman. Payung biru tua. Sorot mata kosong.' Tidak lebih dari itu. Aku tidak berharap akan bertemu dengannya lagi.

Namun, hidup sering kali menyelipkan kebetulan yang tak terduga. Dua tahun setelah pemakaman itu, aku melihatnya lagi. Kali ini di sebuah taman kota, di dekat kolam ikan yang penuh daun kering. Ia duduk di bangku kayu yang menghadap air, tampak larut dalam pikirannya sendiri. Meski tanpa pakaian hitam, detail-detail kecil yang langsung menarik ingatanku: warna payung biru tuanya dan sorot mata kosong yang entah kenapa terasa begitu familiar. Aura yang sama, ketenangan yang hampir menakutkan.

Aku ragu untuk mendekat. Tapi, rasa ingin tahuku lebih kuat. Aku duduk di bangku yang sama, menjaga jarak yang sopan.
'Hai,' sapaku, mencoba terdengar santai.
Dia menoleh, sedikit terkejut, tapi tidak tampak terganggu. 'Hai,' balasnya singkat.
Aku mengulurkan tangan. 'Pras.'
'Liya,' katanya, menjabat tanganku dengan ragu. Sentuhannya dingin, seperti udara di sekitar kami.

Aku sebenarnya ingin langsung bertanya apakah dia ingat pemakaman itu, tapi sesuatu dalam sikapnya membuatku menahan diri. Aku memilih memulai obrolan dengan hal-hal ringan: cuaca, taman, ikan-ikan yang tampak malas bergerak di kolam. Dia merespons dengan jawaban singkat, tapi perlahan aku merasa dia mulai lebih terbuka. Wajahnya, yang awalnya tampak kaku, mulai menunjukkan sedikit ekspresi.
'Aku pernah melihatmu sebelumnya,' kataku akhirnya, tidak tahan lagi.
Dia mengernyit. 'Di mana?'
'Pemakaman, dua tahun lalu. Kamu berdiri di bawah payung biru tua.'

Liya diam sejenak, matanya mengamati wajahku seolah mencari kebenaran dalam ingatanku. Kemudian, dia tersenyum tipis, sebuah senyum yang sulit ditafsirkan. 'Kamu ingat detail yang aneh.'
'Mungkin karena aku penulis. Aku terbiasa memperhatikan hal-hal seperti itu.'
'Penulis?' Matanya sedikit menyala. 'Apa yang kamu tulis?'
'Cerita. Tentang manusia, tentang perasaan, tentang hal-hal kecil yang kadang tidak diperhatikan orang lain. Seperti...' Aku berhenti, merasa terlalu terbuka.
'Seperti apa?' desaknya.
Aku tersenyum malu. 'Seperti perempuan misterius di pemakaman.'

Liya tertawa kecil, dan untuk pertama kalinya, aku melihatnya tampak benar-benar hidup. 'Itu menarik,' katanya. 'Tapi aku bukan perempuan misterius. Aku hanya... suka berada di tempat seperti itu.'
'Pemakaman?' timpalku.
Dia mengangguk. 'Ada sesuatu yang menenangkan di sana. Mungkin aneh, tapi aku merasa lebih terhubung dengan diriku sendiri ketika aku berada di dekat kematian.'
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Kata-katanya terasa begitu jujur, tapi juga menyimpan rahasia yang lebih dalam.
'Apa yang kamu cari di sana?' tanyaku akhirnya.
Dia menatap ke arah kolam, seperti mencari jawaban di antara riak air. 'Sepertinya ini bukan obrolan yang biasa, bagi dua orang yang baru saja kenal' jawabnya.

Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja dia katakan. Sepertinya Liya bukan sekadar perempuan biasa. Ada lapisan-lapisan di dalam dirinya yang belum tersingkap. Dan entah kenapa, aku merasa ingin menggali lebih dalam.
Hari itu, kami berbicara cukup lama. Tentang kehidupan, kehilangan, dan hal-hal kecil yang sering diabaikan. Ketika matahari mulai terbenam, dia berdiri dan berkata, 'Aku harus pergi.' ucapan terakhir setelah kami saling me-follow akun instagram.
Liya pergi, meninggalkan aku dengan lebih banyak pertanyaan dari pada jawaban. Tapi aku tahu satu hal: aku ingin menulis ceritanya. Atau mungkin, kami akan menulis cerita ini bersama-sama.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun