Mohon tunggu...
Fahryansyah Nugraha
Fahryansyah Nugraha Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa yang ingin meluapkan isi pikirannya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi di Nepal

16 September 2025   06:01 Diperbarui: 16 September 2025   06:05 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Artikel Pak Study Rizal berjudul "Belajar dari Nepal: Demokrasi yang Berdarah" memberikan gambaran mengenai betapa hancurnya demokrasi ketika sebuah negara gagal menciptakan ruang komunikasi yang terbuka dengan masyarakatnya. Tragedi tersebut bermula dari larangan pemerintah kepada beberapa platform di media sosial yang mengungkapkan bahwa keruntuhan demokrasi bukan semata-mata akibat masalah teknis, melainkan hasil dari akumulasi kegagalan dalam mendengarkan aspirasi rakyat. Media sosial, yang seharusnya menjadi sarana ekspresi publik, justru diblokir. Langkah ini bukan sekadar kebijakan digital, melainkan simbol nyata dari negara yang enggan memberikan ruang bagi kritik.

Kejadian di Nepal mengingatkan kita bahwa demokrasi tidak hanya berkaitan dengan mekanisme pemilihan umum atau frekuensi pelaksanaannya. Demokrasi sejatinya adalah bagaimana negara hadir sebagai ruang dialog, tempat masyarakat dapat menyampaikan kritik, keresahan, dan harapan tanpa rasa takut. Ketika ruang tersebut ditutup, masyarakat mencari saluran alternatif. Demonstrasi di jalanan Kathmandu bukan sekadar ledakan emosi, melainkan bentuk komunikasi darurat dari rakyat yang kehilangan akses ke kanal formal. Sayangnya, respons negara bukanlah dialog, melainkan penggunaan gas air mata, peluru karet, dan tindakan represif yang merenggut nyawa.

Setiap peluru yang ditembakkan aparat tidak hanya melukai fisik para demonstran, tetapi juga merusak legitimasi politik pemerintah. Negara yang membalas kritik dengan kekerasan sesungguhnya menolak rakyatnya sendiri. Akibatnya, demokrasi yang seharusnya menjadi jalan menuju keadilan justru berubah menjadi medan penderitaan. Keputusan pemerintah Nepal untuk mencabut larangan media sosial datang terlambat ibarat obat yang diberikan setelah luka berubah menjadi bekas yang membekas dalam ingatan kolektif.

Tragedi ini menjadi pengingat bahwa legitimasi sebuah negara tidak dapat ditegakkan dengan kekerasan, melainkan melalui kepercayaan. Negara mungkin dapat bertahan sementara dengan tindakan represif, tetapi tanpa kepercayaan dari rakyat, ia akan selalu berada dalam kondisi rapuh. Keadilan bagi para korban, akuntabilitas aparat, dan transparansi pemerintah menjadi prasyarat mutlak untuk memulihkan kepercayaan yang telah hilang. Demokrasi tidak dapat tumbuh dalam suasana ketakutan; ia hanya berkembang subur dalam ruang di mana rakyat berani berbicara dan negara berani mendengarkan.

Bagi Indonesia, kisah Nepal seharusnya menjadi bahan refleksi yang mendalam. Kita memiliki sejarah panjang di mana kritik pernah dianggap sebagai ancaman dan dijawab dengan tindakan represif. Reformasi 1998 menjadi bukti betapa mahalnya harga yang harus dibayar untuk membebaskan ruang publik dari kontrol negara yang ketat. Namun, pertanyaan pentingnya adalah: apakah kita benar-benar telah belajar dari sejarah tersebut? Ataukah bara lama masih tersimpan, siap menyala kembali ketika kritik kembali dipandang sebagai gangguan?

Demokrasi bukanlah sesuatu yang diperoleh sekali jadi; ia merupakan proses yang memerlukan keberanian, kesabaran, dan keterbukaan. Nepal memberikan pelajaran pahit bahwa demokrasi bisa berdarah apabila negara menutup pintu dialog. Namun, pelajaran ini bukan hanya milik Nepal melainkan peringatan universal bagi seluruh bangsa, termasuk Indonesia.

Akhirnya, tragedi Nepal menegaskan satu hal yang sederhana namun fundamental: demokrasi hanya akan kokoh apabila negara bersedia mendengarkan suara rakyatnya. Tanpa hal tersebut, demokrasi hanyalah sebuah topeng rapuh yang sewaktu-waktu dapat retak oleh tindakan represif dan hilangnya kepercayaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun