Mohon tunggu...
Fahrul Rizal bin Iskandar
Fahrul Rizal bin Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Peminat Sejarah Kuno

Dilahirkan dan menyelesaikan pendidikan sampai lulus SMA di Banda Aceh, melanjutkan pendidikan S1 Teknik Perminyakan di Yogyakarta kemudian memperoleh kesempatan kembali ke Banda Aceh untuk menyelesaikan S2 Ilmu Ekonomi dengan beasiswa Bappenas. Peminat sejarah peradaban manusia, memiliki perhatian khusus pada sejarah peradaban Islam dan Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aksara Penerjemah Ilmu dalam Peradaban Sumatera

13 Februari 2019   15:35 Diperbarui: 14 Februari 2019   16:21 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Dok: Manuskrip Digital British Library, No. Add MS 4726; Tautan: http://www.bl.uk/manuscripts/FullDisplay.aspx?ref=Add_MS_4726)

Sekitar awal tahun 2000, ketika itu sedang menunggu keberangkatan pesawat di Bandara Adisutjipto, ada seorang pria yang taksiran usianya masih 30 tahunan terlibat perbincangan santai dengan saya. Dalam sela-sela pembicaraan dia mengatakan bahwa hanya orang jawa yang memiliki aksara asli dalam bahasa daerahnya di Indonesia, karena orang melayu hanya bisa menulis bahasanya dengan mengadopsi huruf arab saja. 

Oleh sebab itu saya kemudian menanyakan asal muasal beliau, dan dijawabnya bahwa dia adalah orang melayu berasal dari Riau. Demikianlah gambaran pengetahuan kalangan awam masyarakat di Sumatera saat ini, banyak yang tidak sadar bahwa peradaban Sumatera memiliki khazanah aksara kuno disepenggalan cerita masa lalunya.


Bila melihat pada bukti prasejarah peradaban Sumatera, tentu penemuan Balai Arkeologi berkenaan dengan fosil manusia purba di Takengon, Gayo, Aceh Tengah, merupakan diantara bukti bahwa peradaban Sumatera telah dimulai sejak lebih dari 6000 tahun yang silam.


Kemudian keberadaan Candi Muara Takus yang menjadi bagian dari sejarah Sriwijaya diperkirakan telah berdiri sejak abad ke 4 Masehi, kemudian Benteng Indra Patra di Krueng Raya, Aceh Besar, konon diselesaikan pembangunannya pada tahun 600 Masehi.

Bahkan sebutan lain dari Pulau Sumatera adalah Swarnadwipa atau Swarnabumi, yang artinya sebagai Pulau Emas, tercatat pada Prasasti Nalanda (860 Masehi) di India. Maka mustahil rasanya bila masyarakat Sumatera kuno baru mengenal aksara ketika penjelajah Arab tiba di Nusantara.

Diantara artefak yang masih tersisa dan disimpan di British Library adalah Pustaha Batak, yang ditulis dengan huruf Karo, konon Kitab itu adalah bagian dari serial Kitab Ilmu Ghaib yang dicatatkan pada kulit pepohonan pada abad 18.

Kemudian Kitab Ramalan yang ditulis dalam huruf Karo pada potongan bambu utuh pun tersimpan dalam katalog British Library.

(Dok: Manuskrip Digital British Library, No: Or. 16736; Tautan: https://blogs.bl.uk/asian-and-african/2016/11/batak-manuscripts-in-the-british-library.html)
(Dok: Manuskrip Digital British Library, No: Or. 16736; Tautan: https://blogs.bl.uk/asian-and-african/2016/11/batak-manuscripts-in-the-british-library.html)
Hingga saat ini British Library menyimpan 32 tulisan Batak yang 28 diantaranya berupa pustaha, yaitu semacam buku lipat (Kitab) pada zaman sekarang.

Mungkin kemudian kita berpikir bahwa aksara arab-melayu merupakan bentuk tulisan yang digunakan pada masyarakat Islam Sumatera. Memang dimaklumi bahwa aksara Batak itu populer dikalangan masyarakatnya yang masih memegang teguh kepercayaan Parmalim, sebagai agama asli bangsa Batak jauh sebelum kedatangan ajaran Budha maupun Islam di Sumatera. Dan tak terhitung banyaknya manuskrip melayu kuno yang ditulis dengan huruf arab-melayu, seperti karya-karya Nuruddin Ar-raniri ketika beliau berada di Aceh.

Bagian dari Sirathal Mustakim, Ar-raniri, tertulis pada baris kedua yang diawali dengan tinta merah “...dan demikian lagi harus instinja dengan kitab yang tiada berguna pada syarak seperti Hikayat Seri Rama dan Inderaputera dan barang sebagainya jika tiada dalamnya nama Allah” (Dok: Manuskrip Digital British Library, No. Or. 15979, f.15v; Tautan: http://www.bl.uk/manuscripts/FullDisplay.aspx?ref=Or_15979)
Bagian dari Sirathal Mustakim, Ar-raniri, tertulis pada baris kedua yang diawali dengan tinta merah “...dan demikian lagi harus instinja dengan kitab yang tiada berguna pada syarak seperti Hikayat Seri Rama dan Inderaputera dan barang sebagainya jika tiada dalamnya nama Allah” (Dok: Manuskrip Digital British Library, No. Or. 15979, f.15v; Tautan: http://www.bl.uk/manuscripts/FullDisplay.aspx?ref=Or_15979)
Bila melihat pada penggalan kalimat Kitab Sirathal Mustakim tersebut maka patutlah bila kita meyakini bahwa pada masa Syaikh Ar-raniri di Aceh (sekitar 1637-1644), perbendaharaan literatur melayu kuno sudah sangatlah populer mendahului kepopuleran tulisan-tulisan Islami. Hal ini tergambar dari ajakan Ar-raniri untuk memboikot tulisan-tulisan kuno pra Islam seperti Hikayat Seri Rama dan Hikayat Inderaputera, tentu alasannya karena tidak terdapat pengajaran akan Islam didalamnya. 

Tampaknya kedua hikayat itu laksana hiburan istimewa bagi kaum terpelajar pada masa itu, mungkin seperti halnya film box office ataupun tayangan televisi di masa kini, jadi wajar saja apabila seorang guru terkesan "memprovokasi" murid-muridnya untuk menjauhi hal-hal yang dapat mengganggu konsentrasi belajar.

Tetapi jangan disangka bahwa tidak ada literatur Islami yang ditulis dengan aksara melayu asli, ternyata Syair Perahu karya Syaikh Hamzah Fansuri ada yang disalin menggunakan huruf Rencong/Incung. Padahal Hamzah Fansuri dimaklumi hidup sebelum tahun 1590 Masehi, atau jauh sebelum Ar-raniri datang ke Aceh.

Tembai (tulisan pada kulit bambu) Syair Perahu, konon baris pertamanya dari kiri ke kanan dibaca: Anjut parahu dari ulu / pisang rukama kanan pari / tambai kutahu dari guru / taraba kapun barahi (Dok: Manuscript Digital British Library, No. MSS Malay D 11 f.1r; Tautan: http://www.bl.uk/manuscripts/FullDisplay.aspx?ref=MSS_Malay_D_11)
Tembai (tulisan pada kulit bambu) Syair Perahu, konon baris pertamanya dari kiri ke kanan dibaca: Anjut parahu dari ulu / pisang rukama kanan pari / tambai kutahu dari guru / taraba kapun barahi (Dok: Manuscript Digital British Library, No. MSS Malay D 11 f.1r; Tautan: http://www.bl.uk/manuscripts/FullDisplay.aspx?ref=MSS_Malay_D_11)
Mungkin karena aksara Rencong/Incung melayu kuno ini dirasakan kurang lues dengan perkembangan zaman kala itu, dimana saat masyarakat Sumatera pada umumnya telah menerima agama Islam maka sudah barang tentu keinginan untuk mampu mempelajari dan membaca al-Quran dalam bahasa Arab menjadi target utama pendidikannya. 

Ditambah lagi fakta bahwa aksara melayu kuno ini acap kali berubah-ubah cara penggunaannya tergantung tempat, sehingga dikenal sebagai aksara Batak, Kerinci, Lampung dan sebagainya.

 Tentu akan menyulitkan transfer keilmuan semasa penyebaran Islam di Sumatera pada awal abad ke 17 tersebut apabila tidak dilakukan transformasi  aksara ke huruf arab-melayu sebagaimana salah satunya telah dilakukan oleh Ar-raniri tersebut, maklum saja karena Islam telah membawa level globalisasi peradaban Sumatera ke tingkat yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Dan tulisan pun sejatinya hanya sebagai penerjemah ilmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun